Jakarta (segmennews.com)-Sejumlah tokoh nasional turun gunung membela Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka mendukung agar KPK melanjutkan tugas-tugas pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Sebaliknya,para tokoh menentang segala upaya pelemahan KPK. “KPK lahir dengan diberi kewenangan luar biasa untuk menggerakkan lembaga lain yang tidak efektif, tapi yang terjadi malah KPK digerogoti kanan kiri oleh mereka yang terancam oleh pisau KPK. Kalau KPK kalah menghadapi semuanya,artinya yang kalah adalah rakyat,” tegas Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat di Gedung KPK Jakarta, kemarin.
Selain Komaruddin, tokoh yang turut memberikan dukungan kepada KPK adalah pakar hukum pidana JE Sahetapy, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, budayawan Taufiq Ismail, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Salahuddin Wahid, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja- Gereja Indonesia (PGI) Natan Setiabudi, serta tokoh pers Bambang Harymurti.
Lima pimpinan KPK, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto,Busyro Muqoddas, Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja,turut mendampingi mereka.Sebelum menggelar jumpa pers bersama, mereka sempat mengadakan pertemuan tertutup yang berlangsung lebih dari dua jam. Di tengah konferensi pers itu,seniman Taufik Ismail sempat membacakan sebuah puisi, Di Lautan Mana Tenggelamnya.
Dalam puisi itu seniman kawakan ini menyinggung hilangnya kejujuran, kesederhanaan, keikhlasan, tanggung jawab, dan kecurangan yang makin merajalela, serta dukungan melakukan korupsi dengan berbagai cara. “Aku berjalan mencari kejujuran, tapi tak tahu di mana kalian adanya? Berkelana mencari keikhlasan rasanya ada, tapi di mana? Kemudian kita lihat ada yang berkumpul bersama- sama korupsi menghabisi. Aku mencari tanggung jawab di laut manakah tenggelamnya,” ucap Taufik.
Seperti diketahui,belakangan ini KPK diterpa beberapa masalah yang bisa mengganggu bahkan mendelegitimasi kewenangan KPK. Beberapa soal yang dihadapi antara lain munculnya wacana merevisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan tidak diperpanjangnya penugasan 20 penyidik Polri di KPK per 12 September, padahal penyidik-penyidik tersebut belum menyelesaikan tugas di KPK.
Pada rencana revisi UU KPK, ada beberapa poin yang mengkhawatirkan, yakni terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk DPR, pengembalian fungsi penuntutan KPK ke Kejaksaan Agung, penyadapan harus dengan persetujuan pengadilan, dan pemberian kewenangan penghentian perkara melalui surat perintah penghentian penyidikan.
Komaruddin menandaskan, dukungan terhadap KPK jangan hanya dilihat sebagai sebuah lembaga, tapi juga dukungan terhadap harapan masyarakat untuk memiliki pemerintahan dan negara yang bersih yang selama ini diamanatkan dengan cukup banyak kepada KPK. Dia menilai keberadaan KPK selama ini telah mengganggu dan merongrong kemapanan dan kenyaman para aktor yang terlibat atau teridentifikasi korupsi.
“Jadi lembaga KPK merupakan simbol perjuangan dan bergerak untuk upaya untuk masyarakat dan pemerintahan yang bersih. Dengan demikian kalau ada berbagai pihak yang merasa terganggu dan dirongrong kenyamanannya oleh KPK,kami mengajak,‘Mari masyarakat secara moril membantu misi ekstensi dari KPK dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi semua kasus yang ditangani’,”tandasnya.
Tanggung Jawab Moral
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan mengingatkan, bila KPK tidak ditakuti para koruptor karena adanya upaya pelemahan dan penghentian langkah KPK,berarti KPK kalah dari koruptor. Oleh karena itu, kata dia, para tokoh masyarakat yang kemarin mendatangi KPK menegaskan kepada koruptor bahwa pihaknya mendukung KPK.
Bahkan, para tokoh berharap KPK terus maju, terutama dengan memiliki penyidik-penyidik yang bisa mereka rekrut sendiri. “Dan mereka bisa bertahan di tempat ini tanpa khawatir masa depannya dibolak-balik lembaga- lembaga lain,”paparnya. Melihat pelemahan KPK semakin terlihat sistematis,dia mengatakan, Presiden SBY tidak boleh tinggal diam.
Dia mempertanyakan apakah Presiden mau membiarkan seluruh masyarakat melihat Indonesia terjerumus dengan melemahkan KPK. “Saya rasa Presiden punya tanggung jawab moral untuk mengambil sikap yang tegas. Menjadi bagian dari negara untuk memberantas korupsi,” tegasnya.Wakil Ketua KPK Busyro meminta Presiden SBY turun tangan atas polemik revisi Undang-Undang KPK yang telah digulirkan DPR dan kesalahpahaman dengan Polri dalam kasus simulator.
Pasalnya kata dia, campur tangan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu dianggap dapat memberikan andil besar agar polemik tersebut terselesaikan demi kebaikan bangsa dan negara. “Kami tetap mengharapkan ada kepedulian bapak presiden untuk kearifannya, ada langkah-langkah dalam waktu dekat ini yang bisa memberi langkah kemaslahatan rakyat,”ucap Busyro.
Tokoh NU Salahuddin Wahid juga mengingatkan, seandainya ada oknum atau pihak yang ingin melemahkan KPK secara terstruktur dan sistematis dengan koordinasi yang terselubung, masyarakat tentu berada di belakang KPK dan di belakang pemberantasan korupsi. “Tindakan pemberantasan korupsi yang dijalankan KPK inilah yang menyelamatkan bangsa ini,” tandasnya.
Dia menyayangkan ucapan berbagai pihak yang sering kali berubah-ubah untuk mendukung KPK, padahal dalam realitasnya berupaya melemahkan dan menghancurkan KPK. Salah satunya, kata dia, Gedung KPK yang sempat dilihatnya sendiri ruang kerja sangat overload dibandingkan dengan penegak hukum lain.
“Katanya mendukung, berikan anggaran, menambah ruang kerja gedungnya, tapi belum ada kejelasan.Ini menghambat KPK. Kita harapkan ada dukungan dari masyarakat untuk itu bisa dihilangkan hambatannya. Perlu ada dukungan yang lebih nyata kepada KPK,mungkin kita akan datang ke partai-partai dan DPR,”paparnya.
Sesepuh Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Natan Setiabudi menilai ada upaya balas dendam para pihak terhadap KPK dengan melakukan pelemahan KPK. Dia berpandangan, jika upaya pelemahan dari anggota Dewan maupun penarikan penyidik dan rongrongan lewat kasus simulator menunjukkan sebuah kebenaran bahwa selama ini upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK makin kuat dan makin benar.
“Korlantas itu jadi test case bagi KPK serta bangsa dan negara ini untuk membersihkan Indonesia. Untuk itu dia mendesak Presiden untuk turun tangan menyelesaikan kesalahpahaman antara KPK dan Polri.Namun, kata dia, publik tidak perlu berharap hal itu bisa dilakukan Presiden. “Ketika Pak SBY naik, kita punya harapan.Tapi political will-nya mentok. Menjadi tidak terlalu penting memberikan masukan kepada Presiden,”katanya.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana melihat upaya pelemahan KPK yang datang silih berganti beberapa waktu ini bukan hanya konflik antarinstitusi. Menurutnya, secara jernih harus dapat dilihat siapa atau lembaga mana yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Dalam rencana revisi UU KPK, kata dia, kalau DPR mengubah UU itu untuk diperkuat harus dengan bukti nyata, bukan malah dilegitimasi.
Adapun guru besar hukum pidana Universitas Airlangga Surabaya JE Sahetapi mengungkapkan kembali sejarah keberadaan KPK di Indonesia. Menurut dia,lembaga tersebut terbentuk karena Polri dan kejaksaan pada di masa lalu bekerja di bawah standar dan tidak becus. Bahkan dia menilai, sampai saat ini dua lembaga itu belum melakukan perbaikan secara sistematis dengan lebih baik.
“Jadi saya ingin menegaskan siapa yang ingin mengebiri KPK, termasuk wakil-wakil rakyat yang di DPR itu, kalau terselubung dengan alasanalasan yang tidak sepaham, maka mereka bisa dipandang sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Atau bisa juga dipandang sebagai kaki tangan para koruptor yang ingin menghancurkan KPK dan Indonesia,” kata Sahetapi. (sn/sindo)