Sekda Rohul Buka Workshop PERSI Riau Hadapi BPJS 2014

Sekda Rohul, Ir. Damri membuka Workshop Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) se- Riau
Sekda Rohul, Ir. Damri membuka Workshop Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) se- Riau

Rokan Hulu (SegmenNews.com)– Sekda Rohul mewakilkan Bupati Rokan Hulu, Drs H Achmad Msi membuka Workshop Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) cabang Riaudengan Tema ”Persiapan RS menghadapi BPJS tahun 2014 dan medicolegal”, Senin (10/6/13) bertempat di hotel sapadia Pasir Pangaraian.

Damri menyampaikan, pembangunan Kesehatan memiliki peranan penting dalam upaya mencapai Visi Rokan Hulu,“Menjadikan Rokan Hulu Sebagai Kabupaten Yang Terbaik di Provinsi Riau Tahun 2016 Dalam Rangka Menuju Visi Riau 2020”. Serta komitmen pemerintah daerah untuk mencapai target global millennium Development Goals (MDGs).

Komitmen pemerintah Rokan Hulu dibidang kesehatan tercermin dari Indikator pencapaian visi dan misi tahun 2016 menurunkan angka kematian Bayi menjadi : 16/1000 Kelahiran Hidup, menurunkan Angka Kematian Ibumenjadi: 100/100.000 Kelahiran Hidup, Status Gizi : Gizi Buruk < 2% dan Gizi Kurang <10%, Umur Harapan Hidup : 72 Tahun

Jika sebelum tahun 2005 jumlah rumah sakit (RS) tak sampai 1.000, saat ini sebanyak 2.103 RS beroperasi di negeri ini, mayoritas adalah milik swasta yang berorientasi pada profit.

Pertumbuhan RS diperkirakan akan terus melesat sebab antara demand dan supply masih jauh lebih besar demad. Dengan skala satu tempat tidur di RS untuk 1.000 penduduk, artinya Indonesia masih kekurangan 40 ribu tempat tidur di RS.

Saat ini ada dua isu besar yang harus diperhatikan industri RS, terutama jika berbicara soal pemasaran RS. Pertama, yakni isu seputar BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang mulai diberlakukan tahun 2014.

Ini merupakan revolusi dunia kesehatan nasional dan akan merubah perilaku pasien. Yang dulunya menggunakan uang dari kantong sendiri, nantinya akan dijamin pemerintah. Imbasnya adalah pasien juga akan menuntut pelayanan lebih karena merasa RS sudah dibayar pemerintah.

Isu kedua, tren informasi dan perilaku konsumen. Pasien kini lebih melek info kesehatan. Mereka akan menilai RS melalui opini media massa dan media sosial.

Untuk menghadapi dua isu besar itu, RS membutuhkan peran public relations (PR) dibanding marketing. Peran PR yang menginformasikan layanan-layanan RS, mengedukasi pasien, lebih dibutuhkan dibanding marketing yang menjual layanan-layanan RS saja. PR dianggap lebih bisa membuat pasien menjadi loyal.

Tuntutan pelayanan yang lebih terkait adanya BPJS, maka nantinya PR sebuah RS harus berorientasi kepada human interest. Mereka juga harus menjelaskan dengan baik apa keunggulan dari RS terkait (service excellence).

“Kemudian harus memaksimalkan media sosial sebagai pembentuk opini yang jitu. Harus juga ada media handling, yang meng-handle berita-berita yang buruk maupun baik juga mengatasi keluhan-keluhan yang masuk dengan baik.”

Aspek Medikolegal dan Pelayanan Kesehatan dalam Kegawatdaruratan di Indonesia Tak bisa dipungkiri, teknologi dalam bidang kedokteran telah membawa banyak harapan pada sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Berbagai kemajuan telah diraih, mulai dari penemuan vaksin hingga transplantasi organ. Akan tetapi, muncul masalah dalam perkembangannya. Beberapa merupakan masalah teknis sehingga tidak perlu dibahas lebih lanjut. Lainnya terkendala dalam masalah dana. Sedikit diantaranya justru berbenturan dengan aspek yuridis legal formal: jika pasien mati di tangan praktisi kesehatan, apakah itu dianggap tindakan pidana? Bagaimana jika kematiannya itu disebabkan karena macet di perjalanan menuju rumah sakit? Hal-hal tersebut akan membatasi kemajuan kesehatan itu sendiri, karena banyak kemajuan dari bidang kedokteran yang justru didapatkan dari hasil melawan hukum.

Untuk itu, diperlukan suatu media untuk memfasilitasi kepentingan praktisi kesehatan dan hukum agar tidak terjadi benturan kepentingan. Hal ini disebut medikolegal dan penting untuk memisahkan bias antara tindakan yang dianggap legal dan ilegal dalam praktek sehari-hari. Di Indonesia, hal tersebut dimuat dalam banyak regulasi, terutama pada UU. No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan substituo UU No. 23 tahun 1992.

Workshop diikuti 127 orang yang terdiri dari Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Swasta se Propinsi RIAU, Ketua/Perwakilan IDI se Kab/Kota di Riau, Sejawat Dokter/dokter gigi/dokter spesialis. Ketua Persi Riau, Ketua IDI Riau, IDI Rohul. (adv/hum)