Rupiah Terus Melemah, SBY Gusar

dollarSegmenNews.com– Pelemahan Rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak 15 Agustus 2013 lalu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gusar. Rupiah di beberapa perbankan Indonesia menembus di atas Rp11.000 per dolar AS dan niscaya bakal terus melemah jika pemerintah tidak berbuat apa-apa.

Di kantornya, Rabu 21 Agustus 2013, Presiden mengumpulkan seluruh menteri ekonomi guna membahas masalah ekonomi terkini, khususnya soal anjloknya nilai Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Presiden menekankan dua faktor tersebut sudah cukup menjadi alasan untuk menyusun langkah persiapan menghadapi ancaman krisis di kawasan, termasuk Indonesia.

Presiden memberikan tenggat kepada kementerian dan otoritas terkait untuk merumuskan paket kebijakan yang perlu diambil pemerintah dalam merespons potensi hantaman krisis global saat ini. Obat penawar krisis yang dirumuskan, SBY melanjutkan, nantinya akan berbentuk paket kebijakan dalam berbagai sektor. Sehingga diharapkan bukan hanya dapat menyembuhkan, tapi juga menjadi penguat stamina dan stabilitas ekonomi Indonesia.

Presiden mengimbau agar masyarakat, khususnya pelaku pasar keuangan, tidak perlu terlalu khawatir mengenai langkah-langkah antisipasi ini. Pemerintah dia jamin akan berupaya penuh menerapkan solusi terbaik. “Saya harap mendapat dukungan dari seluruh rakyat, semua itu untuk kepentingan rakyat,” kata SBY di kantor Presiden.

Toh demikian, Ketua Umum Partai Demokrat ini pesimis target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dapat mencapai 6,3 persen sesuai yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapaan dan Belanja Negara Perubahan 2013. Ini terkait dengan perkembangan baru dunia internasional, yaitu pengetatan likuiditas Amerika Serikat, yang bakal berdampak langsung terhadap ekonomi Asia, termasuk Indonesia.

Presiden bahkan meminta para pelaku usaha untuk tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah guncangan ekonomi ini. Berbagai paket kebijakan akan dikeluarkan pemerintah, termasuk insentif bagi pelaku usaha untuk membantu mereka menghadapi krisis ekonomi global. “Kita harus mengamankan juga saudara-saudara kita para pekerja, seperti juga mengamankan rakyat yang lain,” ujar SBY.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana, di kantor Presiden, Selasa 21 Agustus 2013, mengungkapkan paket kebijakan yang sedang diracik pemerintah akan saling berhubungan dan fokus terhadap insentif industri padat karya untuk mencegah PHK.

Armida mengatakan paket-paket kebijakan yang akan diputuskan Presiden sebenarnya telah lama disiapkan, namun masih menunggu momentum yang tepat untuk implementasinya. “Saat ini siap diterjemahkan dalam bentuk Perpres dan sedang difinalisasi dalam 1-2 hari mendatang,” katanya.

Di tempat yang sama, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan formula penawar krisis ekonomi Indonesia akan merelaksasi ketegangan ekonomi di Indonesia akibat pengaruh eksternal. “Tujuan kebijakan ini untuk membuat stabilitas ekonomi,” katanya.

Selain itu, ia menilai pelemahan Rupiah terhadap dolar AS ini juga memberikan pengaruh positif karena eksportir akan berlomba-lomba mengirim barangnya keluar negeri sementara importir menahan diri untuk melakukan aksi impor besar-besaran.
Deputi Gubernur BI, Pery Warjiyo, menyatakan hingga 20 Agustus 2013, Bank Indonesia telah melakukan intervensi pasar valas untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah. Dalam dua hari pertama pekan in, BI telah menggelontorkan Rp2,6 triliun untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
“Sepanjang 2013 kami telah membeli SBN sekitar Rp31 triliun. Kami juga terus berkoordinasi dengan pemerintah dan OJK untuk menstabilkan pasar keuangan kita.”
Krisis moneter 1998 berulang?

Rupiah terus melemah sejak 15 Agustus 2013. Bloomberg melansir Rupiah berada di posisi Rp10.775 per dolar AS pada penutupan perdagangan 21 Agustus 2013. Bank Indonesia mematok Rp10.777 untuk kurs jual dan Rp10.669 untuk kurs beli.

Namun, berbagai bank seperti BCA, Bank Mandiri, Bank Panin dan BII Maybank sudah memperdagangkan dolar AS di atas level Rp11.000 per dolar AS. Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti, Rabu 21 Agustus 2013, mengungkapkan tingginya impor bahan baku dan pangan menjadi penyebab defisit transaksi berjalan dan sudah berada pada taraf memprihatinkan. Defisit transaksi berjalan ini menekan nilai tukar Rupiah.
Fokus dunia saat ini sedang tertuju ke India dan Indonesia, dua negara di Asia dengan defisit neraca berjalan terbesar dan sangat tergantung pada modal asing untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam seminggu terakhir, mata uang India dan Indonesia terjun bebas.

Pemerintah Indonesia melaporkan adanya pelebaran tajam dalam defisit neraca berjalan–yang terburuk sejak 1996–akibat penurunan nilai ekspor komoditas. Inflasi pun melonjak karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Gejala di India dan Indonesia dikhawatirkan bakal menjalar ke negara-negara lain di Asia Tenggara, karena diperparah oleh perlambatan ekonomi China, mesin pertumbuhan terbesar di Asia.

Thailand diprediksi bisa menjadi korban selanjutnya. Data HSBC menunjukkan utang rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (GDP) Thailand melonjak dari 55 persen pada 2009 menjadi 80 persen per hari ini. Total utang terhadap GDP saat ini berada di level 180 persen. Sementara itu, di Malaysia dilaporkan terjadi peningkatan utang dan Ringgit pada awal perdagangan pekan ini turun delapan persen, menyentuh titik terendah dalam tiga tahun terakhir.

“Asia akan memasuki periode stagnasi pertumbuhan selama beberapa tahun mendatang. Asia merupakan tempat manis yang akan segera berakhir,” kata Kepala Ekonom Asia HSBC, Fred Neumann.

Namun, analisis bernada optimistis disuarakan Direktur Utama Bank Mandiri Tbk, Budi Gunadi Sadikin. Menurutnya, Indonesia sudah sering mengalami penurunan nilai kurs seperti ini. Pelemahan Rupiah juga terjadi pada tahun 2000, 2005, 2008, dan 2011. Jika berpatokan pada data-data yang ada dan dibandingkan, dia mengakui ada kemungkinan terjadi seperti 2008, meskipun kemungkinannya teramat kecil.

Budi mengakui kondisi Indonesia saat ini tidak sekuat 2001 dan 2010. Namun, dia hakulyakin Indonesia masih dapat bertahan dalam kondisi pelemahan seperti sekarang ini. “Pada 2008 IHSG turun 61 persen, obilgasi tenor 10 tahun naik dari 9 ke 20 persen, inflasi naik dari 6 ke 12 persen. Sekarang kita lebih baik dari itu. Kalau kita bisa survived di 2008 kenapa 2013 ini tidak bisa?” dia mempertanyakan.

Sumber: vivanews