“Konflik Konstitusi dan Kreasi `Self Government’” yang ditulis oleh Fuad Mardhatillah UY Tiba (FM) yang dirilis Serambi edisi Senin (5/8/2013), sangat menarik diikuti. Dalam Ilmu Hukum, pemikiran semacam itu selaras dengan tuntutan satu aliran hukum, di mana tujuan hukum adalah untuk membahagiakan dan menyejahterakan rakyatnya.
Dalam konteks Aceh, FM banyak mempertanyakan tujuan hukum sendiri. Logika sederhana yang ingin ditampilkan FM adalah seyogianya dengan lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh), maka semua masalah di Aceh menjadi selesai. Apalagi, kewenangan besar yang diberikan kepada Aceh, dengan logika yang disampaikan FM akan memberikan kesejahteraan kepada rakyat Aceh.
Kewenangan tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 7, yang menegaskan bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah (yakni: urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama).
Sebenarnya ada beberapa pertanyaan penting yang diajukan FM. Di samping itu, FM juga menawarkan banyak solusi dalam tulisannya. Namun tulisan ini hanya akan mendiskusikan sebagian kecil masalah saja, disebabkan dalam ilmu hukum ada bidang khusus yang mengkaji tentang itu.
Perhatian hukum
Dalam kajian hukum dan masyarakat, apa yang pertanyakan FM, selalu menjadi perhatian hukum. Salah satu konsep yang diajukan untuk hal tersebut adalah hukum produk manusia selalu dalam “proses menjadi”.
Beberapa pertanyaan dalam konsep ini adalah apakah sebuah UU bisa menjawab semua hal? Bukankah masalah yang dihadapi manusia jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dikonkretkan dalam sebuah UU? Bukankah permasalahan manusia jauh lebih kompleks dan cepat berubah ketimbang dengan UU?
Pertanyaan-pertanyaan sosiologis yang sudah disebutkan di atas kemudian bisa muncul dalam memaknai lahirnya UU Pemerintahan Aceh tersebut. Dalam konteks ini, paling tidak kita merujuk pada dua kunci penting yang selalu harus diingat (dan ini tersurat dalam konsiderans UU Pemerintahan Aceh), yakni: Pertama, bencana yang melahirkan kesadaran untuk perwujudan perdamaian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesadaran ini yang melahirkan komitmen penyelesaian konflik berkelanjutan “hitam di atas putih” melalui sebuah momerandum of understanding (MoU) dilanjutkan pembentukan UU Pemerintahan Aceh. Kedua, UU Pemerintahan Aceh harus mengkonkretkan prinsip kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh untuk dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia.
Dengan bersandarkan pada dua kunci penting tersebut, pertanyaannya: Pertama, apakah semua isi MoU itu tertampung dalam UU? Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa UU Pemerintahan Aceh tidak seutuhnya menampung apa yang ada dalam MoU. Kondisi ini bisa dipahami karena kewenangan melaksanakan dua hal tersebut berada di dua lembaga berbeda. MoU ditandatangani oleh pemerintah, sementara kewenangan pembentukan UU Pemerintahan Aceh ada pada lembaga legislatif.
Dengan lembaga yang berbeda, maka tafsir atas apa yang disepakati juga berbeda. Berbagai perbedaan pandang inilah antara lain yang dirasakan hingga sekarang ini.
Kedua, apakah apa yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh sudah semuanya dituntaskan? Pertanyaan ini juga sangat penting, karena pada kenyataannya masih ada beberapa ketentuan pelaksana UU Pemerintahan Aceh hingga usia tujuh tahun sejak kelahirannya, masih belum tuntas.
Patut diingat bahwa ketentuan pelaksana tidak hanya apa yang menjadi kewajiban pemerintah (Jakarta). Pada kenyataannya, belum semua qanun juga diselesaikan pada tingkat Aceh.
Kedua pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab. Konon lagi kekurangan tersebut menjadi masalah, terutama bisa memunculkan suasana “kekosongan” hukum. Dalam hal ini, hukum yang seharusnya diatur dengan UU Pemerintahan Aceh, namun karena belum selesai ketentuan pelaksana maka dipakai secara hukum nasional.
Konsep peraturan pelaksana itu sendiri memiliki stratifikasi tertentu. Untuk mengukur sebuah produk peraturan perundang-undangan, dalam ilmu hukum memiliki parameter tersendiri. Misalnya untuk untuk menemukan apa saja yang dikatakan produk peraturan perundang-undangan, maka harus dilihat UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam UU tersebut mengatur hirarki UU, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hirarki tersebut.
Pada saat yang sama, hukum juga menyediakan asas, paling tidak: Pertama, asas lex superior derogate lex inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi); Kedua, asas lex specialis derogate lex generalis (peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum), dan; Ketiga, asas lex posterior derogate lex priori (peraturan perundang-undangan yang lahir kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lahir lebih dulu jika materi yang diatur peraturan perundang-undangan tersebut sama).
Dengan berasumsi pada stratifikasi dan asas tersebut, maka sesungguhnya apa yang disebut sebagai konflik hukum, kalau pun ada pada dasarnya bisa diselesaikan. Dengan konsep asas hukum tersebut di atas, kemungkinan besar yang terjadi adalah konflik tafsir hukum. Pun demikian, dalam hukum juga ada jalan keluar, yakni dengan beberapa model tafsir hukum yang bisa dilakukan secara gramatikal, sosiologis, otentik, historis, dan perbandingan. Dengan enam model penafsiran tersebut, pada dasarnya perbedaan yang muncul dalam menafsir isi UU pun bisa ditemukan.
Terbuka peluang
Dalam konteks Aceh, saya sendiri cenderung berfikir bahwa selama ini yang terjadi adalah perbedaan pandang di satu pihak, dan kemauan politik di pihak lain. Baik cara pandang dan kemauan politik adalah dua hal yang sangat terbuka peluang untuk diselesaikan oleh Pemerintah (Jakarta) dan Pemerintahan Aceh.
Proses penyelesaian keduanya akan memperlihatkan titik kait terpenting dalam sebuah UU, yakni politik, hukum, dan kepentingan. Walau konstitusi negara kita jelas menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum dan bukan kekuasaan, namun secara empiris, dominasi politik tidak mungkin diabai.
Kita sudah melewati beberapa fase krusial dalam menafsirkan beberapa pasal dalam UU Pemerintahan Aceh. Dengan pengalaman tersebut, saya yakin kekuatan yang menang adalah kekuatan yang bisa memberi keyakinan atas tafsir hukum. Kekuatan ini akan berubah-ubah menurut perkembangan sosial yang melingkupinya. Dan telah terbukti beberapa kekuatan Aceh telah mampu meyakinkan tafsir hukum versinya.
Saya kira, di antara sekian banyak masalah besar, persoalan tafsir tidak boleh dilupakan. Mohon maaf untuk FM. Tidak semua masalah mampu saya tanggapi. Paling tidak, dengan secuil ini akan menambah energi diskusi selanjutnya, tidak hanya dengan FM, namun juga dengan semua pembaca.
Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: st_aceh@yahoo.com
sumber: aceh.tribunnews