Pekanbaru (SegmenNews.com)- Sidang perkara korupsi ganti rugi lahan Pelabuhan Dorak, Kabupaten Kepulauan Meranti, dengan terdakwa Zubiarsyah, mantan Sekdakab Kepulauan Meranti, Suwandi Idris, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kepulauan Meranti, Mohammad Habibi, PPTK, serta Abdul Arif, penerima kuasa dari pemilik lahan, kembali di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis (10/11).
Pada sidang ini, jaksa menghadirkan lima orang saksi. Salah seorang saksi terkejut ketika diperlihatkan barang bukti daftar hadir rapat negosiasi harga. Ternyata terdapat tanda tangannya, padahal dirinya tidak pernah hadir.
Hakimpun meminta kertas dan pena kepada panitera dan meminta saksi untuk menulis tanda tangannya beberapa kali, dan memang berbeda.
Saksi yang dihadirkan jaksa tersebut di antaranya, mantan Kepala Dinas Perhubungan tahun 2014, Karyadi, Feri, pihak swasta tim penilai barang, Imran, salah seorang tim sembilan, serta Bambang, Bendahara.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko, saksi Imran mengaku tidak tahu kalau dirinya masuk dalam tim pembebasan dan ganti rugi lahan. Ia mengaku tidak pernah ikut rapat, termasuk rapat negosiasi harga.
“Saya dua kali dihubungi staf saya untuk rapat, namun saya minta ia yang menghadirinya. Ketika saya tanya, staf saya mengatakan hanya sekedar menghadiri, tidak ada pertanyaan kepada dirinya. Jadi saya baru tahu kalau ada tanda tangan itu,” ujar Imran, usai melihat barang bukti yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa Mohammad Habibi, di hadapan hakim.
Sementara saksi Feri, tim apraisal dari swasta, dalam keterangannya mengatakan, pihaknya diminta tim sembilan untuk menilai harga ganti rugi lahan. Dari penilaian pihaknya, diketahui harga per meter lahan tersebut antara Rp70 ribu hingga Rp84 ribu, dengan ketentuan lahan tersebut bersertifikat hak milik dan tidak bersengketa.
“Kalau bersengketa hal ini tidak berlaku. Saat itu saya tidak tahu lahan tersebut ada yabg bersengketa,” ujarnya.
Sementara Bambang, dalam keterangannya, setelah ada SP2D, pihaknya langsung mentransfer ke rekening pihak ketiga yang tertera melalui bank. “Kami melakukan pembayaran jika sudah lengkap. Kalau tidak salah ada dua dokumen, satu dibayar Rp1,8 miliar dan Rp2,2 miliar untuk pengadaan lahan. Tapi saya tidak tahu apakah itu ke rekening terdakwa Habibi,” ujarnya.
Sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Risky, di hadapan majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko SH, korupsi ini bermula pada tahun 2011 terdakwa Muhammad Habibi memperoleh informasi akan adanya pembebasan lahan untuk pembangunan pelabuhan Dorak, Selatpanjang.
Setelah diketahui akan dilakukan pembebasan tanah di lokasi Dorak tersebut. Terdakwa sekitar bulan April 2011 menemui Sugeng Santoso, penjaga tanah Jussalatun.
Abdul Rauf bertemu Edy Hartono untuk memberikan informasi bahwa ada tanah di sekitar Dorak yang luasnya sekitar 4 hektare dengan harga Rp2,1 miliar.
Selanjutnya bulan April 2011 Edi Hartono bersama Abdul Arif mengantarkan uang tanda jadi pembelian tanah sekitar Rp 500 juta ke rumah Sugeng Santoso.
Pada Bulan Mei 2011, Edy Hartono menyerahkan uang pelunasan kepada Abdul Arif sebesar Ro1,6 miliar. Kemudian bulan Juni 2011, Abdul Arif baru menyerahkan uang kepada Sugeng Santoso pelunasan harga tanah sebesar Rp1,6 miliar.
Total harga tanah yang diserahkan Edy Hartono kepada Abdul Arif yang selanjutnya diserahkan kepada Abdul Arif kepada Sugeng Santoso adalah Rp2,1 miliar. Dari transaksi ini, terdakwa Muhammad Habibi meminta bagian sebesar Rp700 juta.
Kemudian September 2011 muncul Surat permohonan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Kepulauan Meranti Nomor 550/Dishub-Kominfo/IX/2011/168 tanggal 19 September 2011 dan surat nomor 550/Dishub-Kominfo/IX/2011/203 tanggal 10 November 2012, tentang pengadaan lahan Pelabuhan Dorak.
Tahun 2013, setelah Panitia pengadaan tanah untuk pelabuhan Dorak dibentuk, terdakwa H Zubiarsyah (Sekda), selaku Ketua Panitia, terdakwa Suwandi Idris, Sekretaris, dan terdakwa M Habibi, PPTK menerima surat-surat tanah yang akan diproses untuk diganti rugi tersebut, di antaranya termasuk tanah Jussalatun yang seolah-olah sudah dibeli terdakwa Muhammad Habibi dengan perantara Abdul Arif.
Kemudian para terdakwa Suwandi Idris, H Zubiarsyah, tidak melakukan penelitian terhadap status hukum bidang tanah dan riwayat tanah yang akan dibebaskan atau diganti rugi.
Melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.(hasran)