Saksi Sebut Terdakwa Korupsi Kebun Sawit K2I tak Layak Ambil Uang Muka

Dua saksi memberikan keterangan
Dua saksi memberikan keterangan

Pekanbaru (SegmenNews.com)-Sidang korupsi proyek kebun sawit K2I Dinas Perkebunan Provinsi Riau, dengan terdakwa Miswar Chandra, Direktur Utama PT Gerbang Eka Palmina, Senin (21/11/2016), kembali digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Di hadapan majelis hakim yang diketuai Raden Heru, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan lima orang saksi dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau, di antaranya Hanafi, Kabid Sawit, Disbun Riau tahun 2004-2007, dan Armen Hasibuan, Kabid Perencanaan 2005-2006.

Dalam keterangannya, Hanafi menyebutkan, tahun 2007 dirinya mengundurkan diri sebagai tim teknis kebun K2I karena tidak sepaham dengan cara kerja pada proyek tersebut.

Di antaranya ia tidak setuju dengan pemberian uang muka sebesar 20 persen kepada PT GEB selaku kontraktor Kebun K2I, karena pemberian uang muka tersebut hanya diberikan kepada kontraktor kecil, koperasi atau menengah. “PT GEB merupakan perusahaan besar. Ia mengerjakan proyek sebesar Rp217 miliar dalam anggaran Multiyears. Harusnya,PT GEB memiliki modal 20 persen dari proyek yang diperoleh,” ujar Hanafi.

Selain itu menurut Hanafi, ada pekerjaan yang mestinya dikerjakan oleh PT Gerbang Eka Palmina, namun kenyataannya di serahkan ke pihak ketiga, atau di sub kontrak kan. Di antaranya menurut soal pembibitan. “Pembibitan ini harusnya ada dibawah PT GEB langsung sebagai pengembang agar hasilnya benar-benar terjamin,” ujarnya.

Sementara mengenai pekerjaan tambahan yang ditanyakan Penasihat Hukum terdakwa, seperti pembuatan jalan kebun di Sepahat yang hampir 40 km, saksi mengaku tidak mengetahui. Namun ia memperkirakan hal tersebut tidak ada dalam kontrak. Karena dengan adanya penyerahan lahan sesuai SK kabupaten/kota di Riau, dianggap lahan tersebut sudah clean and clear, atau tidak ada persoalan lagi. Seperti halnya yang ada di Simalinyang dan Desa Sikakak.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum, menyebutkan,  terdakwa Miswar Candra melanggar Pasal 2, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terdakwa merupakan kontraktor di Dinas Perkebunan (Disbun) Riau itu terjadi tahun 2006 hingga 2010. Ketika itu, Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Perkebunan menganggarkan dana program perkebunan untuk Pengentasan Kemiskinan Kebodohan dan Infrastruktur (K2I),  sebesar Rp217,3 miliar. Dana untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit seluas 10.200 hektare di Riau.

Untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit ini. PT GEP memenangkan tender selaku rekanan. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Kontrak Induk tanggal 15 Desember 2006, dilaksanakanlah pekerjaan dengan berpedoman kepada Term Of Reference (TOR). Pelaksanaan pengembangan perkebunan sawit dengan pola kemitraan usaha patungan berkelanjutan.

Pada 18 Desember 2006, dibuat perjanjian kerjasama tahunan (kontrak anak) antara pihak pertama dan kedua dengan nilai Rp45,5 miliar lebih. Uang muka dicairkan sebesar 20 persen atau Rp9,1 miliar lebih.

Selanjutnya tahun 2007, pekerjaan dilanjutkan dengan Surat Perjanjian Kerjasama Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan dan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Program K2i dengan nilai kontrak Rp73,2 miliar. Dalam pelaksanaannya, penanaman hanya dilakukan seluas 534 hektare.

Seharusnya sampai tahun 2007, penanamanan sudah seluruhnya yakni 10.200 hektare Namun capaian fisik hanya 6,65 persen karena dana cair baru 20 persen dari nilai kontrak atau Rp14,6 miliar lebih.

Meski realisasi fisik tidak sesuai kontrak tapi tahun 2008, pembangunan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit tetap dilanjutkan. Hal itu dikuatkan dengan surat perjanjian dengan nilai kontrak Rp39 miliar lebih.

Pada tahun 2007, kontraktor melaksanakan beberapa item pekerjaan yang tidak tertuang dalam kontrak dan agar dapat dilakukan pembayaran pekerjaan. Susilo selaku Pengguna Anggaran tahun 2008 menandatangani amandemen perjanjian kerjasama kontrak induk dan addendum yang bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.

Sampai berakhirnya tahun anggaran 2008, progres fisik pekerjaan 11,846 persen dengan jumlah lahan yang tertanam seluas 1.441 hektar. Namun Susilo tanpa meminta pertanggungjawaban uang muka yang sudah diterima PT GEP tahun 2006 dan 2007 sebesar Rp23,7 miliar lebih, justru mencairkan dana tahun 2008 sebesar Rp38,8 miliar sehingga uang yang diterima PT GEP Rp62,6 miliar lebih.

Selanjutnya tahun 2009, PT GEP melanjutkan pembangunan tanpa ada kontrak. Akibat perbuatan itu negara dirugikan Rp28 miliar.(hasran)