Pekanbaru(SegmenNews.com)- Lebih enam bulan berlalu, WALHI Riau secara konsisten berjuang melawan penghentian penyidikan 15 perkara kebakaran hutan yang dilakukan oleh Polda Riau.
Konsistensi perlawanan ini dilakukan dengan mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan perkara kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh Polda Riau kepada tiga terlapor/ terduga, yakni PT. Riau Jaya Utama (PT RJU), PT. Perawang Sukses Perkara Indonesia (PT. PSPI), dan PT. Rimba Lazuardi (PT RL).
Adapun pendaftaran permohonan praperadilan tersebut telah dilakukan WALHI Riau melalui kuasa hukumnya, Rabu (21/7/17).
”Pengajuan praperadilan ini merupakan bentuk komitmen yang WALHI sampaikan pada 23 November 2016 lalu, dimana saat itu secara tegas kami nyatakan tidak akan berhenti berupaya membuka kembali penghentian penyidikan terhadap 15 korporasi yang dilakukan Polda Riau. Selain itu, permohonan kali ini akan menjadi momentum perang melawan asap agar tidak terulang di Riau. Penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan menjadi salah satu upaya kuat untuk mencegah agar kebakaran hutan dan lahan gambut yang menyebabkan kabut asap tidak terjadi lagi. WALHI percaya, bahwa dengan memutus rantai impunitas terhadap kejahatan korporasi, menjadi bagian penting mengatasi masalah struktural lingkungan hidup di Indonesia,” tegas Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau dalam rilisnya.
Terkait dengan praperadilan ini, Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menjadwalkan sidang perdana yang akan dilangsungkan pada Senin, 10 Juli 2017.
“Kami Tim Kuasa Hukum WALHI Riau sudah mempersiapkan diri lebih matang dari permohonan praperadilan sebelumnya. Alasan Polda Riau menghentikan penyidikan dengan dalil tidak cukup alat bukti akan kami buktikan bahwa hal tersebut sama sekali tidak berdasar. Selain itu, terdapat cacat prosedur dan pengenyampingan bukti yang telah dilakukan oleh penyidik,” ujar Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional WALHI, yang juga salah seorang Tim Kuasa Hukum.
Sementara itu, Aditia Bagus Santoso, Direktur LBH Pekanbaru sekaligus kuasa hukum dalam gugatan ini menambahkan bahwa alasan penghentian penyidikan ini terkesan mengada-ada dan dipaksakan.
“Ketiga korporasi dan 12 lainnya yang terlibat perkara kebakaran hutan dan lahan yang perkaranya dihentikan oleh Polda Riau pada periode periode April sampai dengan Juni 2016 ini sebenarnya telah memenuhi unsur tindak pidana, khususnya terkait unsur kelalaian menjaga areal konsesinya yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan kabut asap yang sangat luar biasa pada 2015 lalu,” jelasnya.
Guna memastikan proses peradilan berlangsung dengan sesuai dengan prosedur dan berujung pada pemuliaan keadilan bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, Riko menyebutkan, proses persidangan praperadilan ini menjadi penting bagi masyarakat Riau.
“Permohonan praperadilan WALHI ini harus kita kawal bersama, karena perjuangan membuka penghentian penyidikan perkara kebakaran hutan dan lahan, akan menjadi momentum penting memenangkan hak dasar warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang termaktub dalam Konstitusi,” sampainya.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati juga menegaskan, bahwa dorongan membuka kembali perkara praperadilan ini dilakukan WALHI, dengan meminta Negara agar melakukan penguatan substansi prinsip strict liability sebagaimana yang diatur dalam UU 32/2009, agar dapat digunakan dalam penegakan hukum pidana lingkungan.
“Kebutuhan terhadap sebuah sistem hukum yang benar-benar memahami kejahatan lingkungan yang begitu kompleks, namun di sisi yang lain struktur peradilan kita belum optimal mengadili tindak kejahatan lingkungan hidup, maka WALHI menilai sudah sepatutnya Indonesia memiliki pengadilan khusus lingkungan hidup yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan ekologis,” ujar Nur Hidayati.***(Andi/rls)