Ragukan Pernyataan Suhardiman, Jikalahari Siap Diskusi Bersama Pansus RTRWP Riau

“Jika hanya omongan itu ya tidak bisa dipercaya, kecuali jika pansus membuka data tersebut kepada publik secara terang benderang dan tidak sepotong-sepotong. Kerapkali omongan politisi tidak sesuai dengan apa yang tertulis, oleh karena itu kami meminta dokumen resmi hasil kerja pansus RTRWP,” tegas Made.

Pada 7 Agustus 2017, Jikalahari telah menyerahkan kertas posisi bertajuk RTRWP Riau untuk Rakyat. Bukan untuk segelintir pemodal dan monopoli korporasi kepada Ketua DPRD Riau.

Waktu itu, kata Made, Pimpinan DPRD Riau menyatakan akan membuka partisipasi publik sebelum RTRWP Riau diparipurnakan. Tiba-tiba beredar kabar DPRD Riau hendak menetapkan Perda RTRWP Riau pada 11 September mendatang.

“Jikalahari mendesak DPRD Riau menunda pengesahan RTRWP Riau karena Pansus RTRWP Riau belum menyampaikan hasil kerjanya kepada publik hingga hari ini,” kata Made.

Alasan lainnya RTRWP Riau harus ditunda pengesahannya karena pada 23 Agustus 2017, Jikalahari melaporkan dugaan maladministrasi terkait penyelenggaraan penataan ruang oleh Gubernur Riau ke Ombudsman Perwakilan Riau.

“Gubri tidak membangun sistem informasi berbasis teknologi yang dapat diakses publik dalam penyusunan draft RTRWP Riau 2016 – 2035,” kata Okto Yugo Setyo, Staf kampanye dan Advokasi Jikalahari yang melapor ke Ombudsman.

Sistem informasi berbasis teknologi ini diamanatkan dalam UU Nomor 26/2007 Tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.

“Jika 65 anggota DPRD Riau masih berpihak pada masyarakat adat dan tempatan serta ruang ekologis untuk kehidupan bersama, tundalah penetapan Perda RTRWP Riau 2016 – 2035 karena makin melegalkan monopoli dan penguasaan hutan dan tanah oleh korporasi HTI, sawit dan tambang,” kata Okto.***(ran/rls)