Dan dampak yang paling menyengsarakan adalah konflik tanah dan sosial yang terjadi di masyarakat, putusnya kearifan lokal dan budaya masyarakat gambut”.
Contoh kongkritnya kata, Isnadi, di Pulau Padang, catatan sejarah masyarakat Pulau Padang sejak tahun 1916 telah bermukim, dan memanfaatkan hutan dan lahan gambut secara arif dan lestari dengan menanam sagu sebagai komoditi ungulan.
Tidak ada drainase/kanal lebar yang di bangun, perpaduan budaya dan suku yang terbangun secara harmonis, suku melayu dominan mengelola wilayah pesisir dan suku jawa dominan di darat, menukar hasil nelayan dengan hasil pertanian di lahan gambut menjadi hal yang biasa yang menjembatani interaksi sosial.
Itu juga merupakan sistem ekonomi yang selaras dengan budaya dan kerjasama yang terbangun bagi masyarakat Pulau Padang, silang sengketa yang pernah terjadi hanya berupa hal-hal normative dan dapat dengan mudah diselesaikan oleh tokoh agama dan tokoh kesukuan.
“Tapi kini, izin oprasional PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan komoditi tanaman akasia SK No. 327/Menhut-II/2009 yang diaddendum pada tahun 2013 dengan No. 180/Menhut-II/2013, telah mengerus kehidupan masyarakat Pulau Padang dan memudarkan budaya serta memicu konflik tenurial dan sosial di masyarakat,” sesalnya.
Dulu, ungkap Isnadi, masyarakat bisa mengambil hasil hutan sebagai sumber kehidupan yang disediakan alam, masyarakat juga memiliki tata kelola ekonomi yang tersistem dan lestari, misalnya saja: