Pekanbaru(SegmenNews.com)-Prof Arbioto, mantan Hakim Agung RI, menegaskan, jaksa tidak berhak menghitung kerugian negara. Sesuai Undang-Undang, yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan RI.

Hal ini ditegaskan Prof Arbioto, saat menjadi saksi ahli pada sidang perkara korupsi meubeler Dinas Pendidikan Kabupaten Kampar tahun anggaran 2015, dengan terdakwa Zulkarnaini, di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Senin (8/1/2018).
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Arifin SH MHum, Prof Arbioto, menjawab pertanyaan yang diajukan terdakwa Zulkarnaini, melalui tim Penasehat Hukumnya yang diketuai Muhammad Zainuddin SH.
Lebih lanjut dikatakan Prof Arbioto, Undang-Undang menyebutkan yang berhak menghitung kerugian negara adalah BPK, atau instansi lain yang telah berkoordinasi. Apabila hal ini tidak dilakukan dan jaksa penyidik menghitung sendiri kerugian negara, lanjut Prof Arbioto, bertentangan dengan Undang-Undang dan ketentuan yang berlaku.
Di antaranya, melanggar Pasal 14 atau Pasal 53 Undang-Undang Tentang Tata Usaha Negara mengenai azaz-azaz hukum yang baik. Selain itu lanjut Arbioto, tindakan jaksa tetsebut juga tidak sesuai dengan Pasal 1366 KUHAP. “Jika yang menghitungnya sok pintar, itu bertentangan dengan Pasal 1366 KUHAP,” ujarnya.
Jika hal ini tetap dilanjutkan dalam dakwaan lanjut Prof Arbioto, maka perkaranya dapat dinyatakan putusan bebasĀ (vrijspraak) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah).
Mendengar pertanyaan dari tim penasehat hukum terdakwa dan jawaban saksi ahli ini, Hakim Ketua Arifin SH MHum, terlihat heran dan menanyakan kepada jaksa penuntut umum apakah memang kerugian negara dihitung sendiri oleh jaksa penyidik, jaksa membenarkannya. “Benar yang mulia,” ujar Jaksa Anom SH.
Hakim Arifin pun terdiam dan mengangguk, sambil mempersilahkan tim penasehat hukum terdakwa melanjutkan pertanyaannya. Tim penasehat hukum kemudian melanjutkan dengan pertanyaan kata perbuatan yang “dapat’ merugikan negara dalam dakwaan jaksa penuntut umum.
Noor Aufa SH, salah seorang tim Penasehat Hukum, menyebutkan bahwa dalam putusan MK dan Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 2016, telah menghilangkan kata “dapat” tersebut, karena dinilai tidak memiliki nilai kepastian, dan meminta pendapat ahli Prof Arbioto.
Prof Arbioto mengatakan, putusan MK dan Surat Edaran MA menjadi pedoman bagi hakim di Indonesia. “Berarti kata “dapat” yang masih digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam dakwaannya tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sehingga bertentangan dengan pasal 184 KUHAP,” ujar Prof Arbioto.
Usai kesempatan tim penasehat hukum terdakwa, majelis hakim memberikan kesempatan kepada tim Jaksa Penuntut Umum mengajukan pertanyaan. Saat itu sidang langsung memanas karen pertanyaan jaksa selalu dipatahkan saksi ahli, sehingga membuat kesal tim jaksa penuntut umum, bahkan tidak sampai melanjutkan pertanyaannya.***(segmen02)