Analisis Yuridis Terhadap Pasal Penghinaan Presiden Ditinjau dari UU 1945

Banyak yang lupa inti dari Reformasi adalah demokratisasi yang orang lompati menjadi pemberantasan korupsi.

Mengenai ahli tata negara Amandemen 4 kali itu melemahkan atau memperkuat presiden?. Namun tidak memiliki jawaban yang berbobot.

Kita ini kacau dan simbolik. Mindset pemerintah dijebak kepada sesuatu yang kecil, soal melemahkan dan memperkuat. Padahal pilihan Politik Tata Negara dan Hukum Tata Negara di DPRD itu bisa menerawangi sesuatu yang besar.

Di dalam sistem ketika pemerintah kemudian menata hubungan antar lembaga politik biasa. ”Anda di Perkuat’, Anda di Perlemah”. Itu tidak relevan.

Bagi saya sebagai mahasiswa adalah “komitmen anda kepada demokrasi karna demokrasi masa depan kami”.

Polemik pasal penghinaan presiden di RUU KUHP.

Penghinaan di negara kita adalah rest delik, yang menurut pandangan saya isi dari KUHP di seluruh dunia itu sama. Kecuali dalam 3 hal. Yakni, pertama Delik Politik, kedua Delik Kesusilaan dan ketiga Penghinaan.

Pandangan Amerika terhadap penghinaan dalam study kejahatan yang tidak dipahami oleh orang tata negara ialah dia adalah Malaprobigita, kalau kita negara timur penghinaan itu adalah Mala ince, di negara kita yang namanya penghinaan itu adalah Rex dalistan (Sesuatu yang memang dari asalnya itu adalah suatu kejahatan).
Berbeda dari Negara-negara Barat yang menganggap itu sebagai Webelistan.

RUU KUHP yang dulunya ditolak karna berisi pasal karet penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta lembaga negara akhirnya disahkan DPR. Yang mana yang dulu nya dianggap mengkritik , sekarang bisa dianggap menyerang kehormatan pemerintah, dan itu merupakan tindak pidana yang bisa dipenjara paling lama 4 tahun atau denda Rp 200 juta.

Pusat studi hukum dan kebijakan Indonesia dalam siaran persnya menyatakan 5 alasan untuk menolak pasal penghinaan presiden dimasukkan kedalam RKUHP. Pasalnya alasan pemerintah bahwa presiden sebagai simbol negara, dan personifikasi masyarakat untuk menjustifikasi pasal penghinaan presiden kedalam RKUHP adalah keliru.

Karena simbol negara sudah jelas diatur dalam pasal 35 dan 36B UUD 1945 Bahwa lembang-lambang negara sebagai mana yang diatur dalam UNDANG-UNDANG NO 24 TAHUN 2009 adalah GARUDA PANCASILA, BENDERA, BAHASA, LAMBANG NEGARA serta LAGU KEBANGSAAN.

Menurut saya, presiden itu adalah jabatan. Jabatan Presiden harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Jabatan ini tidak memiliki fitur moralitas untuk merasa di hina.

Dalam konstruksi ini setiap komentar sentimen, bahkan cibiran publik Kepala presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas-tugas nya. Jika melihat ke belakang, keberadaan pasal penghinaan presiden ini ialah berasal dari KUHP BELANDA yang mengatur soal penghinaan yang disengaja terhadap raja dan ratu dalam sistem kerajaan.

PSHK menilai, pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin di Agung-agung kan layak nya penjajah di masa kolonial. Diantara kesalahan demokrasi adalah kadang-kadang yang terpilih bukan yang sejati, Kadang-kadang yang palsu pun terpilih tapi tidak ada cara lain, kita tidak mau jadi kacung seperti jaman dulu.

Nah!! Kalau penguasa anti kritik, sementara mereka mempunyai segala institusi kekuasaannya untuk Mempersekusi warga yang mengkritisi nya. Tentu sebagai mana dalil dalam kekuasaan “POWER TEND TO CORRUPT, ABSOLUTE POWER CORRUPTS ABSOLUTELY” kewenangan dan kezhaliman akan terjadi. Sementara kekuasaan dinegara ini katanya amanat rakyat!! Apakah rakyat hanya untuk di peras? Dan di ambil pajaknya saja!.

Akan tetapi tidak boleh berkata apa-apa terhadap kebijakan yang menimpa kami.

”kita seolah olah merayakan Demokrasi, tetapi memotong lidah orang orang yang berani menyatakan pendapat nya yang merugikan pemerintah” (ini kata SOE HOK GIE).

Secara teori undang undang ini bagus, saya sebagai mahasiswa hukum mendukung jika sesuai dengan praktiknya. Seperti nangkepin orang-orang yang suka nyebarin narasi kebencian, HOAX, fitnah, menghina dan memantik perpecahan. Seperti yang nyebarin foto Gubernur pakai koteka, yang nyebarin foto stupa candi Borobudur kemudian diganti jadi muka pak presiden.

Jika Undang-undang ini dibuat untuk menjerat orang gaduh seperti mereka saya setuju paling serius. Akan tetapi jika undang-undang yang dibuat untuk membatasi public Sphere rakyat untuk mengkritisi kebijakan dan kinerja jabatan publik yang palsu seperti janji-janji politiknya, saya perwakilan mahasiswa menolak keras dengan adanya undang undang ini. Jangan sampai, Undang-undang yang bertujuan untuk menertibkan, malah dijadikan alat bagi yang punya akses dan kuasa untuk dimanfaatkan.

Ya…. Negara kita memang negara Demokrasi, tapi jangan lupa kalau negara kita juga negara hukum. Tetapi masih ada ketimpangan antara rakyat biasa dan yang punya kuasa dalam persoalan kesetaraan, IDEAL NYA YA HARUS SETARA. Sehingga hukum dan demokrasi itu baru bisa ditegakkan dan 1 lagi, tidak boleh atas nama kebebasan dan demokrasi kemudian penegakkan hukum di tentang.

Katanya menghina di media sosial itu bisa dipidana 4 tahun penjara paling lama. Saya jadi takut deh mengkritik pemerintah. Tapi bohong !!

Buat anak muda katanya PRAM
Satu-satunya yang kita miliki adalah keberanian. Lantas kalau kita tidak punya ini lagi, apa harga hidup kita ini? Jadi tetaplah bersuara selantang-lantangnya sekeras-kerasnya selama ini fakta yang berlandasan kebenaran. Jadi kenapa harus ciut dan takut?

Penulis: NATASYA SRI SAHFANA Mahasiswa Universitas Lancang Kuning Riau berdomisili di Pekanbaru