OPINI: Dimensi Keadilan dalam Perspektif Membangun Kepercayaan

Polemik terhadap penerapan hukum yang terus berkumandang di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, lantas menjadi suatu hal yang penting untuk ditelaah.

Indonesia dikenal sebagai negara hukum karena berlandaskan konstitusional UUD 1945, akan tetapi apakah sudah sepenuhnya dijalankan? Tentu sebagai Pelajar/Mahasiswa terutama Mahasiswa Hukum yang arif dan bijak kita tidak bisa menilai hanya dengan perspektif yuridis namun juga harus dengan sosiologis dan politis.

Dalam sebuah buku Hukum Tata Negara Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Ellydar Chaidir, S.H., M.Hum., yang mana memaparkan terkait paham konstitusi yakni anatomi kekuasaan atau kekuasaan politik yang tunduk pada hukum. Namun, kenyataan yang terjadi yakni hukumlah yang tunduk pada kekuasaan politik.

Mereka yang memiliki kekuasaan akan memegang kendali terhadap penegakan hukum di tanah air. Bagi kalangan menengah kebawah apabila melanggar hukum akan dikenai hukuman setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya bahkan lebih berat lagi.

Namun, tidak dengan mereka yang berada dikalangan atas, hukum dan keadilan dapat dibeli hanya dengan uang dan kekuasaan. Politik tidak lagi tunduk pada hukum melainkan sebaliknya, lalu apa gunanya hukum? Dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu?

Rusaknya bangsa disaat hilangnya rasa percaya pada negeri itu sendiri. Kecewa yang berkecamuk dalam jiwa batin merintih berseru keadilan.

Salah satu contoh kasus terbaru yang menggemparkan bangsa Indonesia, yang merusak citra penegak hukum yaitu kasus pembunuhan almarhum Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat oleh pimpinannya sendiri yaitu mantan Jenderal bintang 2 Ferdy Sambo.

Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Ferdy Sambo, maka semua kejadian yang sebenarnya terjadi dapat diputar balik atau direkayasa, namun selepas melewati rangkaian persidangan dan rintangan demi rintangan dalam memperjuangkan keadilan pada tanggal 13 Februari 2023, putusan Hakim terhadap hukuman atas pelanggaran hukum yang dilakukan terdakwa Ferdy Sambo setelah dinyatakan “telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama” dan melanggar Pasal 340 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat (1) dengan hukuman pidana mati.

Kasus tersebut penuh dengan drama, banyak hal yang dapat dengan mudah diungkap dan diusut tuntas, namun dengan permainan politik, alih-alih bisa lolos dan memenangkan perkara tersebut malah berujung pada penyesalan.

Titik terang telah ditemukan, keadilan masih dapat berlabuh demi menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penerapan dan penegakan hukum yang adil dan solid di Indonesia.

Ini adalah momentum yang tepat sebagai bentuk pelajaran dan perbaikan sistem hukum di tanah air tercinta Indonesia.

Namun tidak sampai disitu saja, aturan tentang hukuman pidana mati diatur dalam Pasal 100 KUHP baru yang isinya “apabila terpidana menunjukkan sikap terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan putusan presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA)”. Itu bisa terjadi setelah terpidana menjalani masa percobaan 10 tahun.

Yang dikhawatirkan nantinya ada kemungkinan unsur politik didalamnya, apabila sudah terbukti bersalah dan divonis hukuman pidana mati akan tetapi kenyataannya tidak terlaksana.

“Yaahh, bakal mahal deh surat keterangan kelakuan baik oleh kepala lapas penjara daripada dihukum mati, huuuuhh… orang berapapun akan mau mempertaruhkan apapun untuk mendapatkan surat keterangan kelakuan baik dari kepala lapas penjara” ujar pengacara kondangan Hotman Paris, dilansir dari video Hotman Paris yang beredar di TikTok terkait Pasal 100 KUHP baru.

Dari maksud perkataan Hotman Paris tersebut besar kemunginan adanya tindak sogokan atau penyuapan yang akan dilakukan kedepannya demi mendapat kebebasan dari hukuman pidana mati.

Opini negatif tersebut juga timbul akibat semakin kurangnya rasa percaya terhadap penegakan hukum di Negara Indonesia sehingga banyak sekali perspektif negatif yang timbul dimasyarakat. Hal ini juga perlu diwaspadai demi kemajuan dan kebaikan bangsa Indonesia kedepannya.

Mencermati bagaimana realitas hukum dan ekspektasinya yang tak kunjung bersua memancing psikologi emosional diberbagai kalangan masyarakat. Tak hanya sekali dua kali, namun dalam kurun waktu setahun saja sudah banyak kasus inkonsistensi hukum di Indonesia yang berulang kali terjadi tiap tahunnya. Maka tak heran jika banyak orang menilai penerapan hukum yang terjadi di negeri tercinta ini “…tajam ke bawah, namun tumpul ke atas…”

Yaa benar sekali… Hukum yang dimaksud dalam kata ‘Negara Hukum’ masih perlu dipertanyakan.

Penulis: Putra Hadi Jelifer
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru – Riau)