SegmenNews.com– Air laut begitu tenang lewat tengah malam itu, 8 Maret 1965. Perlahan, tiga lelaki itu mendayung perahu. Gerak perahu itu senyap mengiris ombak, begitulah mereka menyusup menembus perbatasan Singapura. Usman, Harun, dan Gani. Ketiganya merapat di sebuah pantai. Sebuah misi rahasia segera dimulai.
Menyaru sebagai pedagang, ketiga lelaki itu masuk ke kota Singapura. Mereka mengintai sejumlah titik penting di negara-kota itu. Ketiganya bukan tentara biasa. Mereka anggota KKO, Korps Komando Operasi, yang kini menjadi Korps Marinir TNI Angkatan Laut.
Rupanya sudah berulangkali ketiganya masuk ke Singapura. Mereka biasa berangkat dari, dan lalu kembali ke Pulau Sambu, di dekat Batam, Kepulauan Riau. Di sana tempat induk pasukan KKO berpangkal. KKO adalah salah satu pasukan elite masa itu yang bergabung dalam Operasi Dwikora.
Sehari setelah merapat, ketiganya menetapkan sasaran operasi: MacDonald House, gedung berlantai 10 di Orchard Road yang menjadi kantor Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC). Gedung itu berada di pusat keramaian Singapura. Mereka sepakat menjalankan aksi itu esoknya.
Hari H, 10 Maret 1965. Siang itu, hujan turun amat deras. Langit mendung, dan sesekali petir menggelegar. Tapi seperti biasa Singapura tetap sibuk, dan ketiga lelaki itu dengan mudah masuk ke MacDonald House. Mereka menyelinap ke sisi dalam gedung itu, lalu meletakkan bom seberat 12,5 kilogram di dekat lift.
Tujuh menit setelah bank tutup, tepat pukul 15.07 waktu setempat, bom meledak.
Pintu lift itu robek. Salah satu dinding MacDonald House roboh. Reruntuhan tembok menimpa 150 karyawan bank, yang sedang merapikan pekerjaan mereka. Meja, kursi, dan mesin ketik terpental hingga ke jalan.
Tiga orang tewas, dan 33 lainnya terluka. Puluhan mobil rusak berat. Kaca-kaca jendela gedung sepanjang Orchard Road hancur dalam radius 100 meter dari MacDonald House.
Karyawan bank yang selamat mengira letusan itu adalah suara petir yang menghajar gedung. Mereka kaget, begitu tahu yang meledak itu adalah bom. Singapura gempar. Bahaya mengancam negeri kecil di ujung semenanjung itu.
Pasukan khusus Singapura, yang dibantu Australia, pun disebar untuk mencari pelaku.
Sial bagi Usman, Harun, dan Gani. Perbatasan semua dijaga rapat oleh pasukan Singapura. Mereka sulit kabur. Agar mudah menerobos penjagaan, ketiganya memutuskan berpisah. Usman bersama Harun, sedangkan Gani sendirian. Tapi dalam perjalanan kembali ke Pulau Sambu, Usman dan Harun dicegat patroli Singapura. Motorboat yang mereka tumpangi macet. Padahal perbatasan laut Singapura masih jauh.
Bagi Singapura, meski hampir 50 tahun lampau, aksi ketiga tentara Indonesia itu tak mudah dilupakan. Itu sebabnya, begitu nama “Usman-Harun” akan dipakai sebagai nama kapal perang baru Republik Indonesia, petinggi negeri itu meradang. Kapal itu segera berlayar dari pabriknya di Inggris, dan berlabuh Indonesia akhir 2014 nanti.
Suara paling keras terdengar dari Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam. Dia menuding Indonesia tak peka terhadap perasaan warga Singapura. “Dengan menyematkan nama Usman-Harun di sebuah kapal perang, pesan dan gaung dari nama itu akan terbawa ke manapun kapal itu berlayar. Beda halnya jika nama itu disematkan di sebuah bangunan di Indonesia,” kata dia.
Ke tiang gantungan
Pengadilan Tinggi Singapura, 20 Oktober 1965. Hakim akhirnya mengetukkan palu: vonis mati untuk Usman dan Harun. Mereka didakwa melanggar wilayah Singapura, membunuh tiga orang, dan melakukan pengeboman.
Usman dan Harun membela diri. Mereka menyatakan pengeboman itu bukan atas kehendak pribadi, tapi karena situasi perang terkait Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Adalah Presiden Soekarno yang berang dengan penggabungan Federasi Malaya, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia. Padahal ada Perjanjian Manila yang diteken pada 31 Juli 1963 oleh Federasi Malaya, Republik Indonesia, dan Republik Filipina.
Ketiga negara sepakat menghormati keinginan rakyat Sabah dan Serawak menentukan nasib sendiri melalui pemilu bebas tanpa paksaan. Tapi proyek penyatuan Malaysia itu malah mendapat restu Inggris. Soekarno pun berang. Ia menuduh Malaysia sebagai boneka Inggris, yang mengancam keamanan Indonesia.
Atas dasar itu, Usman dan Harun minta diperlakukan sebagai tawanan perang. Permintaan itu ditolak hakim Pengadilan Tinggi Singapura. Alasannya, Usman-Harun tak memakai seragam militer ketika tertangkap.
Upaya banding ke Pengadilan Federal Malaysia juga ditolak. Banding selanjutnya sampai harus diajukan di London karena Singapura adalah anggota Negara Persemakmuran Inggris. Tapi upaya itu pun berujung gagal.
Upaya diplomasi Indonesia, yang berliku dan makan waktu itu, akhirnya kandas. Presiden Singapura menolak grasi kedua marinir itu. Lobi Presiden Soeharto ke Singapura lewat Perdana Menteri Malaysia tak digubris. Bahkan, permintaan Soeharto agar eksekusi hukuman gantung ditunda sepekan ditolak. Padahal Soeharto ingin Usman-Harun bertemu orangtua dan kerabat mereka sebelum maut menjemput.
Pemerintah RI seperti membentur tembok. Usman dan Harun tak bisa lagi diselamatkan. Soeharto lalu mengutus Brigjen TNI Tjokropranolo bertemu dua prajurit yang berani itu. Ia tiba di penjara Changi, 16 Oktober 1968 –persis sehari sebelum eksekusi hukuman gantung Usman-Harun.
Ditemui seorang jenderal utusan presiden, kedua marinir itu tegak bak batu karang. Mereka bersikap sebagai militer: memberi hormat, dan menyampaikan laporan lengkap aksi mereka di Singapura. Menyimak laporan tanpa rasa gentar itu, Brigjen Tjokropanolo tak dapat menahan haru.
Tjokropranolo lalu menyampaikan pesan Presiden Soeharto, bahwa keduanya diberi gelar Pahlawan Nasional. Seluruh rakyat Indonesia menaruh hormat atas jasa-jasa mereka. Permintaan Usman dan Harun untuk dimakamkan berdampingan di tanah air pun dikabulkan Soeharto.
Esoknya, 17 Oktober 1968, kedua prajurit itu dibangunkan oleh petugas penjara. Usai salat, dengan tangan terborgol mereka dibawa ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam kondisi terbius, dokter lalu memotong urat nadi mereka hingga keduanya lumpuh. Setelah itu, Usman-Harun dibawa ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi waktu Singapura, tubuh kedua lelaki itu tergantung lunglai di tiang itu. Hidup keduanya telah tamat.
Di Indonesia, hari itu, bendera Merah Putih dikibarkan setengah tiang. Dua jenazah itu tiba di tanah air dengan peti berselubung bendera Merah Putih. Sepanjang Kemayoran dan Jalan Merdeka Barat penuh lautan manusia menyambut sang hero.
Esoknya, usai salat Jumat, keduanya dimakamkan. Tembakan salvo pun bersipongang. Pemerintah memberi tanda kehormatan Bintang Sakti. Keduanya diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Radio buat ibu
Sebelum menyusup ke Singapura, Usman sempat pulang ke rumahnya di Purbalingga, Jawa Tengah. Saat itu, anak kesepuluh dari 11 bersaudara itu membelikan radio transistor untuk ibundanya, Siti Rokiyah. “Bunda, lewat radio ini, kabar apapun di luar sana bisa didengar,” kata dia sumringah.
Ironis, radio itu pula yang mengabarkan kematian Usman kepada keluarganya. Menjelang eksekusi Usman, para saudaranya bergeming di dekat radio. Mereka menyimak berita dengan tegang. Tak satupun berani memberitahukan kepada sang ibu, bahwa Usman akan segera digantung.
Rokiyah sempat heran melihat anak-anaknya tahan berjam-jam di dekat radio. “Ada apa ini, kok semua pada tegang?” kata Rokiyah kepada mereka. Setelah saling berbisik, akhirnya anak kesembilan, Siti Rodiyah, mengabarkan berita buruk itu. Air mata Rokiyah pun jatuh. Putranya yang masih berusia 25 tahun itu tak bisa diselamatkan lagi.
Rodiyah, sang adik, pun tak tahan dirundung sedih. Pada pagi yang muram itu, ia pergi ke belakang rumah, lalu berwudu untuk salat subuh. Ada pengalaman yang diingatnya kala itu. Usai wudu, Rodiyah mendongak ke atas pohon kelapa. Ada gagak hitam berkoak-koak. Hati perempuan itu mendadak seperti bolong. Persis pada menit itu, Usman dieksekusi di Singapura.
Usman hidup dalam kenangan Rodiyah, sebagai pemuda cilik yang bernama aslinya, Janatin bin Haji Muhammad Ali. Ia adalah idola di kampung itu. Ia kerap menjadi pemain utama dalam pertandingan sepakbola antarkampung. Hobi lainnya: main perang-perangan.
Dia memang datang dari keluarga tentara. Tiga kakaknya menjadi prajurit. Itu sebabnya, Usman kecil betah mendengarkan cerita kakak sulungnya, Husni, saat berperang di medan tempur. Husni adalah seorang letnan TNI Angkatan Darat.
Husni suka berkisah tentang pasukan Gurkha, pasukan khusus Inggris asal pegunungan Himalaya yang amat tangguh. Ironisnya, ia kelak tewas di tangan pasukan Sekutu, saat bergerilya di masa perang kemerdekaan.
Sejak itu Usman seperti menyimpan dendam. Saat pamit hendak ke Serawak di awal masa konfrontasi itu, ia berkata kepada ibunya: “Aku ke Serawak agar bisa bertemu tentara Gurkha,” kata dia. Ibunya meminta agar ia tak usah ke Serawak, cukup tinggal di markasnya di Surabaya. Tapi, keluarga paham, ada bayang-bayang Husni, dan dendamnya pada tentara sekutu.
Sejak ditangkap sampai digantung Singapura, Usman sempat mengirim sepuluh pucuk surat kepada keluarganya. Dalam surat itu, Usman berpesan kepada mereka untuk merelakan dia. Semua yang ia lakukan, tulis Usman, semata-mata tugas negara.
Ia juga meminta keluarganya tidak meminta balas jasa kepada pemerintah RI. Meski begitu, pemerintah memberikan santunan Rp100 ribu tiap bulannya kepada ibunda Usman sampai Rokiyah meninggal tahun 1985.
Setiap tahun, keluarga Usman mendapat kehormatan diundang ke Jakarta menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun Korps Marinir. Selain itu, rumah sederhana Usman di Purbalingga dijadikan museum oleh TNI. Di dalamnya, tersimpan barang-barang Usman seperti foto-foto dan surat terakhir dia.
Harun, anak Romusha
Harun bernama asli Tohir bin Said adalah anak seorang romusha –orang Indonesia yang dipekerjakan paksa pada masa penjajahan Jepang. Ketika Harun masih kecil, ayahnya dibawa pergi tentara Jepang. Ia tak pernah kembali.
Harun seorang anak pemberani dan bandel. Dia sering pergi ke hutan sendirian. Kadang dia tidur di kuburan dekat rumahnya. Selama bersekolah, Harun kerap membolos. Ia optimistis akan pandai dengan sendirinya meski jarang masuk sekolah.
Kendati malas sekolah, Harun amat rajin membantu ibunya bertani di sawah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka di Desa Ciponggo, Pulau Bawean, Gresik. Harun sadar betul keluarganya miskin. Sambil bersekolah, dia bekerja sebagai pelayan di kapal dagang.
Pekerjaannya itu membuat dia bisa tinggal berhari-hari di Pelabuhan Singapura. Ia juga bergaul dengan banyak orang. Tak heran, Harun menguasai tiga bahasa asing sekaligus –Inggris, China, dan Belanda.
Keluarga Harun tak pernah tahu ia bergabung dengan TNI AL. Mereka baru sadar setelah Harun dipenjara Singapura. Melalui kerabat di Singapura, keluarga diberi tahu tak ada rasa takut di wajah Harun meski tahu akan digantung.
Sepeninggal Harun, pemerintah memberikan perhatian kepada keluarganya. Aswiyani, ibundanya Harun, misalnya diberangkatkan haji gratis ke Mekkah oleh pemerintah. Ia juga diberi rumah di Jakarta. Tapi rumah itu akhirnya dijual karena kebutuhan ekonomi. Bantuan uang, dan juga beras, itu terus mengalir setiap bulan, sampai Aswiyani wafat pada 1996.
Namun demikian, Korps Marinir TNI AL juga masih tetap memperhatikan keluarga Harun. Mereka, misalnya, membuatkan bilik kamar mandi, tempat cuci, dan kakus di rumah keluarga Harun. Juga membelikan televisi buat keluarga itu.
Bagaimanapun, Harun telah melakukan tugasnya dengan kesadaran patriotik yang tinggi. Dalam sepucuk surat dikirim Harun dari penjara Singapura kepada ibunya, misalnya, ia menulis: “Ibundaku tersayang, Ananda bukan perompak, bukan penjahat, bukan penyamun. Ananda melakukan ini demi tugas bangsa untuk membela negara Republik Indonesia, jiwa dan raga.”
Bagi Indonesia, Harun dan Usman, adalah pahlawan. Tentu saja, mungkin tidak begitu bagi Singapura.***
Red: san
sumber: viva