OPINI: Hak Angket DPRD Bentuk Pelemahan KPK, Kekejian Politik Terburuk

Dalam kajian politik penggunaan Hak Angket DPR untuk Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) adalah hal unik dan menarik untuk dikaji tapi secara hukum.

Tindakan ini keji dan memalukan karena memperlihatkan ketidak pahaman DPR terhadap Undang-undang dan ketidaseriusan DPR dalam pembertasan korupsi. Publik pun dapat menilai bahwa angket ini bukan masalah pelanggaran hukum tetapi pelemahan lembaga KPK.

Sejarah keberadaan hak angket di Indonesia, baik dalam sistem parlementer maupun presidensil tidak banyak berubah masih pada koridor pengawasan terhadap pelaksana undang-undang (eksekutif), yang tentunya berbeda dengan pengawasan biasa yang melekat di DPR, maka tidak tepat jika hak angket DPR digunakan pada lembaga penegak hukum seperti KPK maupun kejaksaan.

Dalam penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pasal Pasal 79 Ayat (3) bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Munculah pertanyaan apakah KPK sebagai lembaga eksekutif (pelaksana undang-undang) atauĀ  sebagai penegak hukum ? Dan bagaimana jika KPK melakukan pelanggaran, bisakah DPR mengintervensi ? Jelaslah tidak, KPK adalah lembaga independen (penegak hukum) yang dibentuk negara dengan kewenangan khusus pemberantasan korupsi, kewenangannya tidak dapat diintervensi oleh DPR, begitupun jika terjadi pelanggaran oleh KPK, DPR tidak dapat ikut campur tetapi memiliki hak untuk melaporkan pada Polri ataupun kejaksaan.

Lalu bagaimana dengan angket DPR untuk KPK ? analisa penulis ini bentuk pelemahan kepada KPK bukan perkara hukum tapi perkara politik, dalam proses pembentukanya melabrak undang-undang, yang seharusnya disepakati semua fraksi, faktanya masih ada fraksi yang menolak seperti Gerinda dan PKS.

Hak ini pun serat kepentingan politik karena muncul ketika KPK sedang membongkar kasus E-KTP yang diduga melibatkan pimpinan dan beberapa anggota DPR serta keinginan DPR untuk memutar rekaman pemeriksaan Miryam.

Situasi semakin memanas tatkala KPK tidak mau mengabulkan keinginan DPR dengan alasan adanya kecacatan hukum, akibatnya ancaman DPR pun muncul dari mulai penangguhan anggaran KPK, wacana pembubaran KPK hingga membongkar proses pemeriksaan para koruptor yang sudah divonis bersalah.

Korupsi sebagai ancaman serius demokrasi di Indonesia, berkembang masif pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif maupun sektor swasta sebagaimana Data Mahkamah Agung yang dilansir dari CNN Indonesia bahwa ada peningkatan jumlah perkara korupsi di MA.

Tercatat sepanjang tahun 2016 terdapat 14.564 perkara yang masuk. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2015, yakni 13.977 perkara.

Perkara korupsiĀ  tak hanya menjerat pejabat namun juga pegawai peradilan. Selama 2016, tercatat setidaknya 13 pegawai peradilan mulai dari hakim, panitera, hingga staf pengadilan diduga terlibat suap.

Sementara data ICW yang dipublis kompas perkara korupsi semester 1 tahun 2016, ICW mencatat ada 210 perkara korupsi yang tengah disidik oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan dengan jumlah tersangka sebanyak 500 orang.

Maka penulis menilai disaat negeri ini dalam situasi darurat korupsi, pembentukan hak angket DPR untuk Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk pembodohan publik yang tidak mendidik masyarakat dan mencerminkan keberpihakan pada budaya korupsi, sejatinya angket ini dicabut.

DPR sebagai penyambung lidah rakyat seharusnya dapat menggunakan hak angket pada persoalan yang lebih prioritas dan strategis seperti permasalahan Kemanfaatan Sumber Daya Alam bagi masyarakat, korupsi Century, korupsi sumber waras, reklamasi atau masalah ketahanan nasional, kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain.

Bukan sebaliknya melemahkan KPK, sadarlah bahwa koruptor tak layak dilindungi, dan korupsi harus diperangi, itulah komitmen yang sejatinya dibangun parlement bukan menyerang dengan cara-cara yang tidak bermartabat.***

Oleh: Sarief Saefulloh
*Vice President Asian Muslim Students Association sekaligus Mantan Presiden Mahasiswa UIN SGD Bandung*