Palu(SegmenNews.com)- Sudah jatuh, tertimpa tangga. Nasib itu dialami Andi Fitri, pemilik gerai souvenir di Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie, Palu, Sulteng.
Tak hanya rumahnya yang hancur ketika Palu, Sigi dan Donggala diluluhlantakkan gempa, tsunami dan likuifaksi pada 28 September 2018 lalu. Gerai suouvenirnya yang menjual berbagai cendera mata khas Palu, juga habis dijarah.
“Iya, ini saya dan keluarga baru tiga hari memulai (usaha) lagi. Tapi saya kini tak lagi berjualan souvenir. Sekarang coba-coba beralih berjualan makanan dan minuman. Yang di sebelah itu saudara saya, dia masih tetap di souvenir,” ujar Andi, wanita berhijab berusia 40-an yang berasal dari Makassar, Sulsel tersebut.
Bercerita kepada rombongan tim Misi Kemanusiaan Forum Pemred Riau (FPR), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Riau dan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) di sela-sela menunggu keberangkatan di Bandara Mutiara Palu, Andi Fitri mengungkapkan ketika bencana terjadi, dia dan saudara-saudaranya membuka stand souvenir di Pantai Talise Palu.
Kala itu Pemko Palu mengadakan festival ‘Pesona Palu Lomoni’ yang semula dijadwalkan akan dibuka Menteri Pariwisata, Arief Yahya bersama Walikota Hidayat.
Namun belum lagi festival dimulai petang itu, tsunami datang menggulung dan menyapu seluruh yang ada di pantai tersebut. Ribuan orang tewas di sana karena tak sempat menyelamatkan diri.
“Kakak laki-laki saya ikut terseret gelombang tsunami. Alhamdulillah, kemudian ada tentara yang datang menyelamatkannya, sehingga dia selamat,” kenang Andi Fitri.
Bersama keluarga besarnya yang berjumlah 15 orang, Andi kemudian menyelamatkan diri ke tempat pengungsian. Tanpa disadarinya, aksi penjarahan kemudian terjadi di Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie.
“Saya tidak tahu persis kapan terjadinya. Yang jelas saat datang ke Bandara, saya lihat semua sudah berantakan dan sebagian besar souvenir hilang diambil orang,” ungkapnya.
Situasi yang masih mencekam, ditambah gempa susulan yang terus terjadi, membuat Andi Fitri dan keluarga, tidak memikirkan lagi soal harta bendanya tersebt.
“Bagi kami, eksodus adalah pilihan yang paling tepat saat itu. Alhamdulillah, di hari ke-9, ada kesempatan untuk berangkat dengan pesawat Hercules ke Makassar bersama pengungsi lainnya,” tutur Andi Fitri.
Sebagai perantau di Palu, semestinya, kata Andi Fitri, pergi ke Makassar itu adalah pulang kampung. “Tapi karena kami sudah lebih 30 tahun merantau ke Palu sejak dari orangtua, jadi tak ada lagi keluarga dekat di Makassar.
Ya, akhirnya kami tinggal di kemah-kemah pengungsian. Aneh saja rasanya saat itu. Orang Makassar pulang kampung, tapi justru di kampung halaman sendiri tinggal di tenda-tenda pengungsian,” kenang Andi Fitri sambil tersenyum.
Kini bersama suami dan anak-anaknya, Andi sudah kembali ke Palu untuk mencoba bangkit, memulai lagi kehidupan pasca-bencana dahsyat tersebut. “Rumah sudah hancur. Kami sekarang terpaksa menyewa rumah sampai nanti ada uang lagi untuk modal membangun rumah sendiri,” ungkapnya.***(FPR)