Pandai Besi Tradisional di Tanjung Belit Terancam Gulung Tikar

Pandai Besi Tradisional di Tanjung Belit Terancam Gulung Tikar

Rohul(SegmenNews.com)– Sudah dua belas tahun lalu, usaha pandai besi yang digeluti sejumlah masyarakat di Dusun Tanjung Belit Selatan atau dikenal Tanjung Pauh, Desa Tanjung Belit Kecamatatan Rambah Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) cukup menjanjikan.

Bahkan kala itu, usaha pandai besi secara tradisional yang turun temurun tersebut mampu menompang kebutuhan hidup keluarga. Untuk memasakan hasil kerajinan pandai besi yang saat itu ada sekitar 4 orang pengrajin cukup dikenal masyarakat Rohul, selain buatannya, bahan baku yang bagus, juga produk kerajinan yang dihasilkan juga tahan.

Namun usaha pandai besi di Dusun Tanjung Belit Selatan kini sudah ditinggalkan pengerajin. Karena, dari empat pengerajin kini yang masih bertahan hanya tinggal seorang. Walaupun hasil yang didapat pas-pasan untuk nafkahi kebutuhan keluarga namun tetap dipertahankan karena tidak ada lagi usaha yang bisa ditekuni.
Dialah pengerajin satu-satunya yang masih bertahan, Abadi (42). Bahkan kini, Abadi mengaku bila tetap tidak ada bantuan modal usaha, maka usaha yang ditekuninya secara turun temurun akan punah ditelan jaman.

“Saat ini kita terbentur dengan kekurangan modal usaha, ditambah harga karet petani yang anjlok menyebabkan tidak banyak petani pesan membuat alat pisau penakik di tempat usaha saya. Usaha saya tekuni karena inilah kepandaian saya, dan selama ini bisa menghidupi lima anak dan seorang isteri,” kata Abadi, belum lama ini.

Abadi mengaku, banyak tempahan yang didapatkannya dan hasil kerajinannya membuat pisau penyadap karet, termasuk parang juga pisau. Namun kini sebulannya dirinya hanya mampu mendapat penghasilan rata-rata Rp1,5 juta per bulan tapi terkadang di bawah itu.

“Hanya saya yang masih bertahan. Dulunya ada 4 pengerajin di dusun kita ini. Bahkan di dusun kita sekarang ini hanya dihuni sekitar 25 KK, dulunya disini ada tiga kampung. Tanjung Pau, Kampung Ulou dan Kampung Lembah. Namun Kampung Ulou dan Kampung Lembah sudah ditinggalkan masyarakat dan mereka pindah ke daerah lain,”

“Dengan panghasilan saat ini rata-rata per bulan Rp1, 5 juta itu pas pasan untuk biaya hidup, sekolah 3 anak. Ini akibat kesulitan pemasaran, juga dampak harga karet anjlok juga modal yang tidak memadai. Bahkan, saat ini kita menghandalkan alat tradisional,” sebutnya.

Abdi mengaku, untuk membuat tempahan parang biasanya dikenakan ongkos Rp70 ribu, sedangkan bila service Rp20 ribu. Harga satu pisau penyadap yang siap, biasanya dijualnya ke pemesan Rp25 ribu.

“Bila ada modal ditambah menggunakan alat pres, maka hasil yang kita dapatkan lumayan. Dengan cara tradisional kita hanya mampu membuat 10 unit alat penyadap karet, bila gunakan mesin pres maka bisa lebih banyak lagi. Tapi untuk membeli alat pres cukup mahal bisa capai Rp45 juta,” ungkapnya.

Abadi yang merupakan tinggal satu-satunya pengerajin pandai besi di Dusun yang masuk katagori Dusun Tertinggal, hanya pasrah dan menjalani hidupnya dengan anak dan isterinya di rumah kayu panggung berukuran sekitar 5 meter kali 8 meter, yang bahan bakunya bantuan dari Kementrian Daerah Tertinggal saat itu dipimpin Lukman Edy.

“Bila memang ada bantuan modal, maka usaha kita bisa meningkat. Namun hingga 12 tahun sebagai pengerajin pandai besi belum pernah kita dapat bantuan. Jadi kini kita jalani apa adanya,” kata Abadi dengan nada lirih.***(fit)