Pekanbaru(SegmenNews.com)- Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dideklarasikan pada 9 tahun yang lalu. Pada dasarnya JMGR didirikan untuk merespon kondisi ekosistem dan masyarakat gambut yang secara massif mengalami perubahan.
Berdiri tanggal 31 Maret 2010, melalui kongres masyarakat Gambut yang diselenggarakan di Pekanbaru yang diikuti oleh perwakilan masyarakat gambut dari 32 desa dari 5 Kabupaten dan 12 NGO Riau sebagai pendukung.
Dalam pejalananya di tahun ke-9 ini JMGR sudah melewati Kongres ke 3 Pada Tahun 2017 yang lalu, kini keanggotaan JMGR sudah berkembang menjadi 7 Kabupaten, yakni: Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan Meranti, Bengkalis dan Rokan Hilir dan menyebar di 30 Kecamatan dan 135 desa basis.
Saifullah, Ketua Majelis Pusat Gambut Riau (MPGR) menyampaikan bahwa deklarasi JMGR pada 9 tahun yang lalu merupakan momentum kebangkitan masyarakat gambut dalam mendorong model-model pengelolaan gambut yang arif dan selaras dengan alam.
Dalam perjalananya organisasi ini tidak serta merta menjadi besar dan masif, namun konsistensi masyarakat gambutlah yang menguatkan ormas gambut ini mampu menjadi ormas gambut pertama dan terbesar di Riau, bahkan secara nasional.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal JMGR, Isnadi Esman menegaskan, dikesempatan peringatan harlah JMGR ke-9 ini, merilis pandangan dan sikap politik JMGR, hal ini menyangkut soal kebijakan-kebijakan pemerintah tentang gambut yang dalam pandangan JMGR masih belum memberikan solusi kongkrit dalam penanganan persoalan gambut di Indonesia, Riau khususnya.
“Di awal tahun ini lebih dari 1.250 Ha gambut masih mengalami Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA), di Rupat, Dumai, Kepulauan Meranti, Siak dan Pelalawan. 13 masyarakat ditetapkan sebagai tersangka pembakaran, namun nihil dari korporasi yang nyata lahannya mengalami kebakaran, seperti PT. Sumber Sawit Sejahtera di Kecamatan Teluk Meranti Kab. Pelalawan,” ungkap Isnadi.
“Dan, JMGR melihat bahwa penetapan Desa Peduli Gambut dan program pembasahan gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan institusi lainya masih belum menjawab dari peroalan substansi tentang permasalahan ekosistem dan masyarakat gambut. Belum lagi ketika bicara Perhutanan Sosial (PS), hari ini ada 52.000 Ha usulan perhutanan sosial yang JMGR fasilitasi namun belum ada tanda-tanda akan di sahkan oleh Kemeterian LIngkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” tambah Isnadi.
“Bagi pemerintah, membangun kordinasi dan kerjasama dalam perlindungan, perbaikan dan pengelolaan gambut merupakan keniscayaan untuk dibangun dengan kolaborasi bersama masyarakat sipil dan ormas sebagai mana JMGR. Kebijakan pemerintah tidak akan mencapai hasil yang optimal ketika mengabaikan eksistensi masyarakat gambut,” sampainya lagi.
Isnadi menegaskan kepada pemerintah hari ini dan pemerintah yang akan datang bahwa kebijakan gambut yang menyeluruh, implemetatif serta berpihak terhadap masyarakat itu merupakan hal pokok yang harus menjadi perhatian khusus.***(rls/ran)