VIDEO: Pergi Mengajar, Guru SD di Meranti Histeris Terombang Ambing Diatas Kapal

Meranti(SegmenNews.com)-Perjuangan guru di Kabupaten Kepulauan Meranti kali ini menjadi perhatian.

Dalam sebuah video yang sempat beredar di media sosial, guru-guru tersebut terlihat sedang berada di kapal yang bersandar di pinggir bakau

Tidak hanya itu seorang guru pria tampak berada di dalam air untuk memegang kapal.

Hal itu dilakukan karena saat akan menyeberang kapal tersebut diterjang gelombang laut dan akhirnya guru tersebut turun untuk mencegah kapal oleh dan terbalik.

Hasil penelusuran Segmennews.com para guru ini mengajar di sebuah sekolah yang berada didaerah terisolir tepatnya di SDN 10 Lukun, Dusun Keridi Desa Bathinsuir, Kecamatan Tebingtinggi Timur.

Untuk mencapai lokasi tersebut, hanya ada satu jalur, yakni Sungai Suir dengan menaiki perahu kecil yang disebut Pompong dengan lama perjalanan hampir satu jam.

Dalam video yang berdurasi sekitar 30 detik itu tampak perahu yang ditumpangi para guru ini dihantam gelombang besar pada Selasa (21/1/2020) siang, akibatnya kapal yang dikemudikan oleh kepala sekolah yang bernama Suardi ini terpaksa harus menepi ke tepian hutan bakau.

Suardi yang sempat di temui wartawan membenarkan seorang guru berstatus PNSĀ  nekat melompat ke laut.

Guru yang diketahui bernama Syamsul Bahri itu berniat mengamankan perahu agar tidak oleng dan tenggelam.

Sementara itu guru- guru perempuan terlihat berteriak histeris karena ketakutan.

Perahu kecil itu memang diketahui menjadi alat transportasi satu-satunya bagi para guru ini yang mengajar di daerah terisolir, karena jika harus melalui jalur darat, maka membutuhkan waktu hampir tiga jam lamanya karena harus memutar.

Perahu ini dibeli oleh Suardi sendiri.

Dia bersama 4 orang guru lainnya setiap hari berangkat dari pelabuhan Desa Banglas Barat Barat menuju tempat mengajar mereka.

Perahu itu dibelinya dengan menggunakan uang pribadinya seharga Rp8 juta dimana selama mengabdi menjadi tenaga pengajar sudah lima perahu dia gunakan.

Setiap hari mereka berangkat menggunakan perahu kecil ini, tak kira menentang badai, gelombang maupun kabut, hal itu mengingat puluhan murid sudah menunggu disana, kepala sekolah bersama empat guru lainnya terpaksa menyeberangi Sungai Suir walaupun harus ada resiko yang akan dihadapi.

Dikatakan Suardi, kapal Pompong miliknya itu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju ke tempat mengajar.

“Kalau Pompong ini rusak, kami bersama para guru dipastikan tidak bisa pergi mengajar, karena ini merupakan satu satunya transportasi menuju kesana,” kata Suardi saat ditemui pelabuhan Banglas Rabu (22/1/2020).

Selama mengabdi sudah banyak suka duka pria yang menjadi guru sejak tahun 1988 ini, mulai dari perahunya tenggelam, mesin rusak di tengah perjalanan, sampai dengan kipas perahu tersangkut sampah yang berada didasar sungai.

“Kalau kipas perahu tersangkut, terpaksa saya sendiri yang menyelam ke bawah dasar sungai,” ujar Suardi.

Hambatan perjalanan menuju sekolah tempat mendidik anak anak suku Akit tidak sampai disitu, setelah menyusuri sungai yang ditempuh selama 1 jam Suardi dan guru lainnya harus menempuh perjalanan panjang dengan kondisi jalan berlumpur yang membenamkan hingga diatas mata kaki.

Agar bisa melewati jalan tersebut, mereka juga harus melepas sepatu dan menyisingkan celana mereka hingga ke lutut.

“Kalau sepatu tidak dilepas, tidak bisa jalan karena lengket oleh lumpur tanah liat. Tidak ada base ataupun semenisasi, hanya tanah liat yang berlumpur,” ujarnya.

Suardi sudah mengabdi sejak tahun 1996 ini tidak hanya saat menuju sekolah, lahan seluas 3240 m2 tempat sekolah ini berdiri pun dibelinya seharga Rp250 ribu pada tahun 2000 silam.

Suardi mengungkapkan, sebelum mengajar di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir, ia mengajar di sekolah SDN 6 Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur.

Namun, saat itu ia mendengar jika desa tetangga, Desa Batinsuir tidak memiliki guru dan sekolah untuk mengajar membaca, menulis dan menghitung bagi anak-anak suku Akit.

“Saat saya mengajar dulu, tanah ini sengaja saya beli untuk dibangun sekolah, agar anak-anak disini bisa bersekolah. Pembangunannya kami ajukan proposal pada zaman Bengkalis tahun 2002, kalau tidak ada kami disini siapa lagi, tidak ada yang sanggup bertahan mengajar di sini,” ungkap Suardi.

Tak jarang mereka saling bercanda untuk menghilangkan lelah, sesekali mereka berpegangan tangan satu sama lain agar tidak tergelincir akibat jalan licin dan tidak tercebur kedalam sungai ketika melalui jembatan yang rapuh dan berlobang.

Tak jarang juga mereka membuka perbekalan dan makan bersama, karena tidak ada kesempatan bagi mereka untuk sarapan di rumah.
“Di dalam perjalanan, kami bersama guru lainnya selalu bercanda, ini sengaja dilakukan untuk mengusir rasa penat kami,” tutur Suwardi.***(Ags)