Jakarta(SegmenNews.com)- Sejak Negara Indonesia lahir, konstitusi telah mengamanatkan visi perekonomian Indonesia dalam bingkai kedaulatan dan kesejahteraan sosial.
Hal ini tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 pada alinea ke-4 (empat) yaitu:
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”.
Bunyi alinea tersebut, telah jelas bahwa kontitusi Indonesia merupakan penganut Paham Negara Kesejahteraan.
Demikian disampaikan Sekretaris Jendral Dewan Energi Mahasiswa Indonesia, Roby Juandry melalui rilis ke redaksi segmennews.com, Kamis (25/6/2020).
Selanjutnya, dijelaskan Roby Juandry bahwa kesejahteraan umum ini pun dikaitkan dengan Pancasila Sila ke-5 (lima) sehingga dasar dari kesejahteraan umum tersebut adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sesuai dengan paradigma Pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi ini selanjutnya diamanatkan kembali di dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 yang merupakan salah satu strategi para perintis kemerdekaan dalam menyusun UUD 1945 untuk melaksanakan pembangunan ekonomi.
Dengan demikian jelas bahwa tugas negara adalah memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Strategi tersebut diaplikasikan pada pengambilan peranan penting oleh negara dalam bidang ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Secara eksplisit strategi ini tercantum di dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 sehingga selama pasal ini tercantum di dalam konstitusi maka selama itu pula keterlibatan pemerintah (BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan.
BUMN merupakan penjelmaan cita-cita dan falsafah berdirinya negara sebagai negara kesejahteraan. Sebuah konsep negara kesejahteraan menunjukkan bahwa negara dituntut berperan aktif dalam menyejahterakan rakyatnya. Seperti yang diutarakan Esping-Anderson dalam Buku “Mimpi Negara Kesejahteraan” bahwa Negara kesejahteraan, pada dasarnya, mengacu pada “peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasikna perekonomian” yang didalamnya “mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya”.
Oleh karena itu, cita-cita dan falsafah suatu negara harus semakin jelas dan menjadi dasar untuk melihat dan menetukan arah BUMN. Regulasi hukum BUMN di Indonesia mengalami perkembangan yang kemudian dapat dibagi menjadi 4 masa perkembangan, yaitu: 1) Perusahaan Negara sebelum Tahun 1960; 2) Perusahaan Negara menurut UU Nomor 19 Prp Tahun 1960; 3) Perusahaan Negara menurut UU Nomor 9 Tahun 1969; 4) Perusahaan Negara menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 yang dalam UU ini disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Beberapa hari belakangan ini statement dari Menteri BUMN terkait privatisasi perusahaan milik negara yaitu pertamina menuai banyak kritikan publik.
Dalam hal ini menteri BUMN ingin memprivatisasi pertamina melalui IPO (initial publik offering) sub-holding dengan alasan tranparansi dan akuntabilitas, hal ini disampaikan saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Perlu diketahui bersama, lanjut Roby bahwa Pertamina merupakan Holding migas yang menaungi beberapa Sub-Holding diantaranya Upstream (Hulu), Pengolahan (Refenery,Petrochemical), Downstream (Pemasaran), Transportasi (perkapalan), dan Gas.
Dengan bisnis Pertamina yang sangat menarik dan sexy, banyak oknum-oknum berkepentingan untuk ikut bergabung dalam bisnis Pertamina dimana puncaknya pada 29 juni 2018 terjualnya Pertagas yang merupakan sub-holding Pertamina yang berbisnis di sektor gas kepada PGN(Perusahaan Gas Negara). Menurut Tirto.id PGN mengakuisisi Pertagas dan Pertagas Niaga dengan membeli 51% saham seharga Rp 20,1Triliun untuk 2.591.099 lembar saham ini juga termasuk PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas. Jika kita lihat dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN pengertian privatisasi adalah
“Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat,” ungkap Roby.
Pada pasal tersebut, dilanjutkannya, dijelaskan bahwa privatisasi yaitu penjualan saham sebagian dan seluruhnya.
Kata seluruhnya inilah yang mengandung kontroversi bagi masyarakat. Kontroversi tersebut jelas berdampak kepada kepemilikian dan peran BUMN yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Apabila dijual saham seluruhnya maka tentu saja kepemilikan pemerintah terhadap BUMN tersebut sudah hilang beralih menjadi milik swasta dan beralih namanya bukan BUMN lagi tetapi perusahaan swasta.
Dengan demikian, pelayan publik ke masyarakat akan ditinggalkan apabila pengelolaan berpindah tangan ke pihak swasta, terutama swasta asing, dan tentu saja ini akan menciderai amanat UUD 1945 terhadap BUMN.
Hal yang perlu dikaji lagi sebelum menilai pengertian privatisasi di UU BUMN adalah pemaknaan kata “dikuasai negara” pada Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi landasan berbagai pendapat mengenai ketidaksetujuan terhadap program privatisasi. Kata “dikuasai oleh negara” terkadang diidentikkan sebagai “negara menguasai”.
Dengan demikian peran negara lebih condong sebagai negara “penyelenggara”, “pelaku ekonomi” (ondernemer, enterpreuner) sehingga negara dianggap sebagai “pemilik”.
Kata yang “dikuasai negara” menurut Jimly Assiddiqie, konsep pasal 33 adalah konsep “negara pengurus” (welfare state) yang merupakan masukan dari Muhammad Hatta.
Dalam konsep Negara pengurus, negara memang diharapkan untuk terus mengintervensi pasar, mengurus kemiskinan, dan memelihara orang miskin. Hal inilah yang menjadi dasar pencantuman Pasal 33 dalam UUD 1945, dalam Bab XIV dengan judul “Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial”.
Konsep “negara pengurus” ini tentu saja bertentangan dengan program privatisasi yang berasal dari konsep negara kapitalis. Sedangkan demokrasi ekonomi, menurut Jimly Assiddiqie, berkenaan dengan gagasan kedaulatan rakyat Indonesia dalam kehidupan bernegara yang dikembangkan dengan istilah social democracy.
“Dalam hal ini kami tidak sepakat dengan adanya privatisasi terhadap sub-holding PT Pertamina (persero), bahwa jika perusahaan plat merah yang bergerak di bidang strategis yaitu pengelolaan migas yang notabenya didalam pasal 77 butir d UU No 19 Tahun 2003 Tentang BUMN jelas tidak dapat diprivatisasi, karena PT Pertamina (persero) bergerak dibidang usaha sumber daya alam dan secara jelas amanat konstitusi pasal 33 ayat (2) dan (3) harus dikuasi oleh negara. privatisasi akan membuka gerbang liberalisasi migas yaitu memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada swasta (asing) dan pengurangan peran negara, kebijakan ini jelas sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat yang sesungguhnya pemilik sejati Kekayaan Negara. Indonesia adalah negara hukum, dalam sebuah negara hukum pada asasnya setiap tindakan pemerintah haruslah dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh hukum, suatu tindakan pemerintah yang dilakukan tanpa dasar kewenangan adalah berakibat batal demi hukum,” jelasnya.
Untuk itu, Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Indonesia menyatakan sikap:
1. Mendesak kepada Presiden untuk membuat kebijakan yang menguatkan sektor energi sebagai jalan menuju kedaulatan energi Indonesia
2. Menolak secara tegas segala bentuk dan upaya privatisasi PT Pertamina (persero)
3. Menolak secara tegas model holding dan subholding dalam PT Pertamina (persero)
4. Mendesak presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja menteri BUMN atas kebijakan yang dibuat.***(rls)