Dalam demokrasi, politik akan menjadi tindakan yang paling berpengaruh dalam berbagai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan.

Politik sebagai motor penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara akan serat perselesihan dan pertentangan karena adanya persaingan perebutan kekuasaan melalui berbagai hal.
Masyarakat sebagai bagian dari politik mengharapkan aktifitas politik mewujudkan tindakan nyata untuk kepentingan umum dan tidak mencederai hak-hak konsitusional.
Sejarah politik di Indonesia membuktikan, penguatan politik suatu rezim tidak lepas dari kontroversi yg menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Hal tersebut terjadi ketika kondisi politik penguasa tidak dominan dan gelombang protes masyarakat sulit dikendalikan, sebut saja masa Soekarno dengan G-30S PKI, Soeharto dengan asas tunggalnya, dan pasca reformasi dengan dalih demokrasi dan ketertiban nasional.
Lebih dari itu, Hegemoni kekuasaan membuka ruang keresahan masyarakat, bagaimana tidak media mainstream baik pro maupun kontra penguasa saling ngklaim kebenaran dan memaksa mendapatkan simpati masyarakat.
Alhasil hukum dipolitisasi dan politik direduksi menjadi isu kegagalan demokrasi.
Dengan kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) yang ditetapkan tanggal 10 juli 2017 oleh Presiden Jokowi Widodo menjadi polemik baru di lapisan masyarakat.
Perbedaan muncul dengan klaim dukungan dan kebenarannya masing-masing.
Pendapat pertama bahwa perpu ini tepat dimunculkan karena dianggap solusi untuk menghentikan ormas-ormas dan individu-individu yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Alasan lainnya pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus yang melegitimasi lembaga pemberi izin atau mengesahkan ormas tertentu berwenang pula membatalkanya atau membubarkannya tanpa melalui proses peradilan.
Pendapat kedua, kehadiran perpu ini dianggap inkonsitusional karena menghilangkan hak-hak dasar kemanusiaan yaitu kebebasan berkumpul dan berserikat.
Ditambah lagi proses pembentukannya yang cacat prosedur karena terbentuk tidak dalam keadaan darurat ataupun genting yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan Perpu ini.
Hal tersebut dijelaskan dalam Perpu No. 2 tahun 2017 psl 59 ayat 4 pemerintah dapat menilai ormas maupun anggota-anggotanya yang menganut dan mengembangkan paham anti pancasila dan UUD 1945.
Hukuman pun tidak ringan anggota yang terlibat dapat dipidana paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun bahkan seuumur hidup dan untuk ormas yang terbukti anti pancasila dapat dilakukan pembubaran oleh pemerintah tanpa melalui proses pengadilan, diatur dalam pasal 80A.
Ketentuan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dari sisi politis kehadiran perpu ini sangat merugikan pemerintah, karena dikeluarkan disaat kondisi politik nasional sedang memanas ditandai dengan ketidak harmonisan hubungan politik dengan parlement.
Melemahnya kekuatan koalisi pemerintah, dan gelombang protes kelompok tertentu yang belum mereda hingga saat ini maka tidak heran pro kontro perpu ini akan dianggap sebagai ancaman demokrasi karena hak-hak dasar kemanusiaan untuk kebebasan berkumpul, berserikat dibatasi secara mutlak oleh pemerintah.
Dalam pendekatan teori kekuasaan, perpu ini memperlihatkan politik pemerintah dalam kondisi tidak stabil sehingga terlihat konflik dijadikan alat untuk mencapai kompromi politik.
Sekaligus menghimpun kembali kekuatan politik penguasa yang telah berbelok, cara ini sering dilakukan penguasa dan terbukti ampuh dalam prakteknya, seperti kasus dualisme parpol, polemik parlement, pembagiaan kekuasaan dan lain sebagainya.
Jika benar, politik negeri ini hanya sebatas kekuasaan maka otoritarianisme dan tirani yang akan muncul, tapi sebaliknya jika politik diyakini dan dijalankan atas dasar hukum dan kepentingan masyarakat maka politik akan menjadi solusi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Intinya Penulis mendukung pemerintah untuk membubarkan ormas anti pancasila dan UUD 1945 tapi tidak boleh sewenang-wenang dengan menghilangkan peran peradilan.
Seharusnya pemerintah bisa netral dan bijak dalam menyelesaikan polemik kebangsaan jangan sampai langkah yg diambil menjadi masalah baru.
Andai saja perpu ini fokus pada ormas tertentu, penulis menyakini perpu ini akan menjadi solusi tapi sebaliknya justru menjadi wacana negatif bagi pemerintahan Jokowi-Jk.
Kedepan, pemerintah harus lebih selektif dan aspiratif supaya konstalasi politik nasional tetap stabil dan roda pemerintah berjalan maksimal.***
Oleh: Sarief Saefulloh (Wakil Ketua Asosiasi Mahasiswa Islam Asean (AMSA) sekaligus Alumni jurusan Ilmu Politik Islam UIN SGD Bandung)